Setiap Ibu adalah
inspirasi bagi anak-anaknya. Maka, aku tuliskan kisah Ibuku ini sebagai nyala
api yang akan terus menghidupkan daya hidupku.
Tulisan ini tak bermaksud mengunggulkan nama Ibu
saya. Terlebih Ibuku bukanlah siapa-siapa. Beliau hanya seorang ibu biasa.
Seperti ibu-ibu lain di kampung. Kehidupannya dijalani biasa-biasa saja. Tak ada
keistimewaan. Tetapi, sekali ini izinkanlah bagi saya untuk menuturkan apa yang
telah dilalui Ibu saya. Sebab, bagaimanapun beliau adalah inspirasi bagi saya. Sangat
inspiratif.
Kisah ini dimulai dari tiga
puluh tiga tahun silam. Ketika aku masih berumur tiga tahun. Waktu itu, yang
aku ingat, aku tengah bermain dengan kawan sebaya. Kejar-kejaran sampai lelah. Dan
pada titik lelah itu, malam itu kami berhenti sejenak dari permainan melepas
lelah. Di sebuah balok-balok kayu yang disusun menjadi rangka sebuah gerobak
(songkro) kami duduk-duduk. Kala itu, aku dengar dari Ibu kalau gerobak ukuran
kecil itu akan digunakan sebagai tempat berjualan Ibu. Ya, kecil ukurannya. Lebar
satu meter, panjangnya 180 sentimeter dan tingginya 175 sentimeter.
Beberapa hari kemudian, gerobak
itu jadi. Rangka balok kayu itu dibalut dengan seng. Kemudian dicat dengan
warna hijau muda yang terang. Kini gerobak itu tampak menyolok di depan rumah
berpagar anyaman bambu, di bawah pohon singkong yang bertahun-tahun tak pernah
ditebang. Waktu itu halaman rumah masih cukup luas. Lebar jalan tak seperti
sekarang ini. Masih cukup banyak area tersedia untuk arena bermain.
Mulailah saat itu Ibu memasuki
dunia barunya. Ibu menata meja kecil. Diletakkan di dalam gerobak itu. Di
sampingnya sebuah bangku kayu kecil. Sampai sekarang bangku itu masih utuh. Tiap
pagi tiba ibu mulai menata barang-barang dagangannya. Mulai dari jajan pasar,
jajan ringan, rokok, obat nyamuk bakar, lilin, dan barang-barang lainnya sekalipun
yang disediakan tak cukup banyak. Maklum modal tak cukup dibelanjakan untuk
barang yang lebih banyak. Apalagi sebelumnya Ibu hanya seorang buruh batik
dengan upah yang pas-pasan, malah bisa dikatakan tak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Kadang terpaksa hutang sana-sini. Tambal sulam
istilahnya. Belum lagi, beliau berjuang sendirian.
Meski begitu, keterbatasan yang
dialami Ibu tak menyurutkan langkah beliau untuk terus berusaha. Memulai dunia
barunya, Ibu berusaha agar tak kehabisan akal. Kalau ada barang dagangan yang
habis dan kebetulan ada yang hendak membelinya, beliau selalu tawarkan barang
lainnya yang tak jauh beda fungsinya. Misal, obat nyamuk bakar. Orang selalu
punya rasa fanatik pada merk tertentu, tetapi dengan lihai ibu membujuk agar
orang itu mau membeli barang yang sama dengan merk yang lain. Tentu, penjelasan
ibu tak akan membuat calon pembeli puas. Tetapi dengan enteng Ibu selalu
mengatakan, “Barang yang sampeyan cari habis. Tapi, kalau untuk sementara pakai
yang ini dulu tak apa to? Besok yang sampeyan cari akan saya usahakan tersedia
lagi.”
Sebenarnya cara itu dilakukan
Ibu hanya untuk menutupi keterbatasan modal yang Ibu punya. Setidaknya, kalau
ada uang masuk itu artinya ada kesempatan untuk membelanjakannya esok pagi. Tetapi,
bagaimana jika uang yang masuk ternyata tidak mencukupi atau tidak ada? Ibu tak
kecil hati. Ibu beranikan diri untuk ‘ngebon’ pada toko langganan Ibu di pasar.
Konsekuensinya, Ibu harus bisa melunasi esok harinya. Ya, tak boleh lama-lama. Harus
esok hari. Lalu, bagaimana jika esoknya tak ada uang untuk melunasi? Ibu pun
tak malu untuk mendatangi toko langganan Ibu dan mengatakan keadaan yang
sebenarnya. Lalu, Ibu meminta izin untuk diberi tempo satu hari lagi. Kalaupun
misal uang yang ada di tangan ternyata hanya cukup untuk melunasi utang, Ibu
pun tak keberatan jika saat itu tidak belanja barang-barang dagangan. Tentu,
itu dilakukan untuk menjaga kepercayaan.
Lambat laun kepercayaan itu
semakin besar. Para pemilik toko langganan Ibu kerap kali tak keberatan memberi
utangan. Bahkan, kadang memberi kesempatan Ibu untuk membawa barang dagangannya
terlebih dulu. Bayarnya belakangan. Biasanya pembayaran dilakukan setelah barang
itu benar-benar habis, atau tersisa sedikit. Kendati kelonggaran itu ada,
rupa-rupanya Ibu tak mau sembarangan. Tidak setiap tawaran itu ia terima begitu
saja. Selalu ada pertimbangan-pertimbangan lain. Ibu harus mempertimbangkan
apakah barang itu laku atau kurang laku.
Tahun demi tahun, musim demi
musim dilewati. Dagangan Ibu semakin banyak. Tetapi, gerobak itu tak pernah
berubah. Hanya catnya yang mengelupas ditempa panas dan hujan. Ah, kalau mengingat
kala hujan, aku jadi ngenes. Beberapa kali hujan lebat mendera. Malam
juga belum larut. Tetapi, keadaan benar-benar nglangut, sepi. Ibu masih
setia menunggui gerobaknya. Barang-barang dagangannya terpaksa ditutup plastik
seadanya. Sementara aku tertidur di kolong meja beralas papan kayu dilapisi
kardus yang terlipat. Ibu masih setia menunggu pembeli. Kalaupun hujan teramat
lebat, terpaksa gerobak itu ditutupnya. Sekalipun Ibu tak beranjak dari
gerobaknya. Dalam masa penantian itu, Ibu selalu berdoa agar hujan lekas reda,
sehingga Ibu bisa membuka gerobaknya lagi. Berjualan lagi sampai jam yang sudah
ditentukan. Ya, biasanya Ibu akan menutup gerobaknya dan menggembok pintunya
pukul 23.00. Kalau tak ada hujan, aku biasanya tertidur di atas kursi panjang
yang diletakkan di belakang gerobak. Entah, sekarang kursi itu dimana. Kadang
pula aku tertidur dalam gerobak. Lalu, Ibu menggendongku, mengantarkanku ke
kamar.
Pernah suatu ketika, pagi-pagi,
Ibu mendapati gembok itu dijebol. Pintu gerobak itu didongkel. Tampak barang-barang
berantakan. Laci meja juga dijebol. Sejumlah uang raib. Aku ingat, waktu itu
Ibu sedih. Tetapi, titik airmatanya tak satupun ia relakan jatuh. Hanya ada
satu yang di pikiran Ibu kala itu, bagaimana Ibu bisa berbelanja barang-barang
dagangan jika tak ada uang? Dengan sangat terpaksa, celengan tembikar yang
disimpannya di kolong dipan dipecahnya. Padahal, rencananya uang celengan itu
akan digunakannya untuk memperbaiki gerobak yang sudah mengelupas catnya. Tetapi,
apa boleh buat. Keadaan berkata lain. Terpaksa.
Hari itu juga, tak ada lagi uang
tersisa. Mungkin hanya beberapa lembar. Nyaris semua dibelanjakan untuk
memenuhi gerobak dagangan Ibu. Ya sudah, terpaksa harus mengencangkan ikatan
pada pinggang. Dan benar saja, masa sulit itu tak berlangsung lama. Keadaan kembali
pulih. Sampai pada waktunya, gerobak itu pun akhirnya dapat diperbaiki. Dicat ulang.
Memasuki tahun ke enam, uang
yang dikumpulkan Ibu dalam celengan itu dibobol lagi. Kali ini Ibu gunakan
untuk memperbaiki gerobaknya. Lebih luas dan lebih kokoh. Gerobak itu kini
berganti warung kecil yang disandarkan dengan teras rumah. Hanya saja bahannya
masih sama. Balok-balok kayu dan seng. Tetapi kali ini gerak Ibu lebih leluasa.
Lebarnya 2,5 meter, panjangnya 4 meter, dan tingginya sekitar 2,5 meter.
Tatanan meja pun berubah. Ada beberapa
meja tambahan. Lemari kaca kecil seperti kotak P3K dipasag di atas meja sebagai
tempat pajang bungkus rokok. Hanya saja, lantainya masih berupa tanah. Kalau hujan
kadang jadi becek. Kadang pula tergenang karena tingginya tak lebih tinggi dari
permukaan jalan beraspal di depan rumah.
Sejak saat itu, Ibu secara tidak
langsung mulai mengajariku cara berdagang. Mula-mula aku hanya menjadi pencatat
barang yang akan dibeli. Kemudian aku diajari cara menghitung. Kala itu tak ada
kalkulator. Cara menghitung yang diajarkan Ibu adalah dengan cara awang-awang,
alias hapalan. Salah satu yang masih aku kenang betul adalah setiap kali jelang
lebaran tiba. Ibu akan menyodoriku potongan kertas bekas bungkus rokok yang
diikat dengan karet gelang. Pada tiap-tiap kertas tertera nama pembeli dan
sejumlah deret angka yang disusun tegak lurus ke bawah.
Ibu selalu menyuruhku
menghitungnya. Ada yang jumlahnya puluhan ribu, ada pula yang belasan ribu. Kala
itu uang sepuluh ribu masih sagat bernilai tinggi. Setelah kuhitung semuanya,
kadang aku iseng menghitung lagi. Kusobek satu lembar kertas buku pelajaranku,
lalu kucatat semua hitungan angka pada lembar-lembar potongan kertas itu. Dan
setelah kuhitung, jumlahnya cukup fantastis. Angka itu tembus seratus ribu
lebih. Setelah berhasil menghitungnya kusodorkan kertas itu kepada Ibu. Lalu,
Ibu membacanya dan mengoreksi. Jika ada yang salah, aku diminta mengulanginya. Jika
sudah benar Ibu akan tersenyum senang. Dan alangkah senangnya kalau aku berhasil
menghitungnya dengan benar.
Setelah semua kertas itu
dihitung, Ibu biasanya memintaku segera membuangnya. Ya, karena masih
kanak-kanak biasanya kertas-kertas itu aku buat mainan. Kubakar kertas itu satu
per satu. Barulah aku mengerti beberapa tahun kemudian, setelah berkali-kali
lebaran aku jalani tugas dari Ibu itu. Ketika itu nilai uang kian berubah. Di tahun
itu, jumlahnya mencapai jutaan sudah. Tetapi, Ibu selalu memerintahkanku untuk
membuang kertas itu. Padahal, lembaran kertas-kertas itu tidak lain dan tidak
bukan adalah daftar utang pelanggan warung Ibu.
Pernah, waktu itu aku protes. Ku
beranikan diri menanya, “Apakah tidak sebaiknya mereka ditagih? Eman-eman, Bu. Kalau
diuangkan kan lumayan.”
Ketika itu Ibu hanya menjawab, “Barangkali
mereka benar-benar tak mampu atau lupa. Kalau tak mampu atau lupa kan percuma
saja ditagih. Toh, yang penting dagangan Ibu masih jalan. Tidak kurang.”
Yang lebih mengherankannya lagi,
setiap kali lebaran Ibu masih sempat-sempatnya menyiapkan bingkisan untuk semua
pelanggan. Baik yang masih ngutang atau yang tak pernah ngutang. Semua diberinya.
Alasan Ibu sederhana, bingkisan itu diberikan sebagai rasa terima kasih atas
kepercayaan mereka. Lha iyalah, bagaimana tidak mau percaya, wong orang ngutang
saja dibiarkan! Pikirku waktu itu. Tetapi, sama sekali hal itu tak berani aku
utarakan pada Ibu.
Memasuki tahun ke sepuluh,
tepatnya tahun 1993, celengan Ibu kembali dibobol. Gerabah yang ditaruh di
bawah dipan itu dipecahnya lagi. Ibu kembali membuat perombakan. Kali ini
besar-besaran. Rumah sekaligus warung, diperbaiki. Tidak lagi papan kayu, tidak
lagi seng, melainkan berdinding tembok. Warung Ibu disatukan dengan rumah. Kala
itu beberapa almari etalase kaca mulai dicicilnya. Ada yang beli, ada yang
pesan di bengkel sebelah rumah.
Sejak saat itu, perkembangan
warung Ibu terus saja berjalan. Pelan tapi pasti. Bersamaan dengan itu pula,
beberapa tetangga kemudian melirik usaha Ibu. Sebagian dari mereka ada yang
membuka warung dengan barang dagangan yang sama. Lalu, apa reaksi Ibu kala itu?
Ibu hanya diam. Mula-mula sempat terpikir pertumbuhan warung-warung yang serupa
akan memunculkan persaingan. Bahkan, sangat mungkin ada persaingan tidak sehat.
Tetapi, lambat laun pikiran itu dihapusnya.
Dengan sedikit menghibur diri,
pernah suatu ketika Ibu katakan padaku, bahwa munculnya warung-warung di
kampung itu tiada lain sebagai buah keberhasilan Ibu. Setidaknya, apa yang
dilakukan Ibu telah menginspirasi bagi orang-orang sekitar untuk meniru. Ibu
masih ingat, ketika beliau masih bekerja sebagai buruh batik. Dengan tangannya,
Ibu membatik. Di tangannya pula garis-garis nasib dilukiskan. Butuh kesabaran
yang tidak hanya saat melukiskan lilin malam pada selembar kain, melainkan
kesabara saat harus menerima kenyataan. Bahwa upah yang diterima di tangannya
itu tak cukup untuk membeli susu. Padahal, Ibu berjuang sendirian.
Ya, seorang wanita harus pandai
mengelola kebutuhan. Apalagi urusan dapur. Ibu membuktikannya. Dan aku
menyaksikannya. Tidak hanya satu dua tahun tetapi bertahun-tahun. Kini usahanya
makin tumbuh. Malah, karena tak cukup tenaga, Ibu tak segan-segan mengambil
tenaga dari tetangga atau dari kampung lain, terutama mereka yang butuh
pekerjaan. Dan beberapa di antara mereka kini keluar karena berkeluarga atau
keperluan lainnya. Tetapi, rata-rata mereka kemudian bisa berdiri menjadi
seorang wanita usahawan. Setidaknya, ketika pulang ke kampungnya ia bisa
membuka usaha yang seperti Ibu lakukan. Mereka juga banyak menerapkan apa yang
Ibu lakukan. Ya, Ibu telah mencetak beberapa perempuan perkasa lainnya. Perempuan-perempuan
mandiri. Perempuan yang mampu mengolah hidupnya lebih bermakna.
Harus aku akui, Ibuku ternyata
seorang inspirator bagi ekonomi rakyat, sekalipun tak pernah mendapatkan kuliah
kewirausahaan. Boro-boro mendapatkan kuliah macam mahasiswa, lulus SD pun tak
sempat. Ibu tak punya ijazah, tetapi aku yakin di tangannya ada banyak berkah
bagi para perempuan untuk menjadi perempuan yang kuat menghadapi zaman.
Salam hormatku, untuk Ibuku,
sang inspirator!
Pekalongan, 8 Desember 2016
K.R.G
Komentar