Anak Polah Bapa Kepradah

Salam,

Beberapa hari ini orang-orang nampaknya disibuki oleh ulah pemerintah yang akan menaikkan harga BBM. Aksi demonstrasi sampai penyegelan SPBU di beberapa daerah semakin mewarnai layar kaca di ruang keluarga. Tentu ini akan menjadi pemandangan yang sangat berat bagi mata kita yang sudah kadung lelah setelah seharian bekerja. Dan ini akan sangat melelahkan lagi ketika kita berkeinginan besar untuk mengistirahatkan otak kita namun pada kenyataannya hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Sebab, banyak hal yang mungkin akan lebih mengganggu pikiran kita manakala kita berandai-andai jika kemudian BBM jadi meroket harganya. Akan banyak orang miskin baru tentunya. Juga akan banyak orang frustasi baru pula barangkali.

Siapa sebenarnya otak di balik kenaikan harga BBM ini? Dalam pemikiran saya yang diselubungi kecurigaan menyebutkan, ini karena ulah sang globalisme yang kurang disikapi dengan kesigapan pemerintah negeri ini. Sehingga sering kali, alasan klise yang saya pikir terlalu dibuat-buat ini selalu muncul di halaman depan buku catatan pemerintah kita. Dengan huruf kapital dan tebal selalu dikatakan 'KARENA HARGA MINYAK MENTAH DUNIA NAIK'! Selalu begitu teriak pemerintah kita.

Tapi mereka lupa, atau bahkan tidak pernah mendengar teriakan rakyat 'KALAU HARGA BBM NAIK RAKYAT SENGSARA'! Lantas siapa yang akan bertanggungjawab? Tentu selalu dijawab dengan ungkapan yang sangat klise pula 'SEMUA KALANGAN HARUS BERTANGGUNGJAWAB, TIDAK PANDANG BULU'! Ironis, rakyat yang sengsara harus pula ketiban tanggung jawab besar dari negara. Aneh bukan?

Namun memang harus diakui, di negeri yang serba aneh ini jangankan berharap untuk bisa hidup layak bermimpi untuk hidup enak saja sudah tidak dibolehkan. Lah bagaimana tidak? Orang rakyat meminta agar pemerintah tidak main-main dengan kebijakannya eh...tetap saja selalu rakyat harus menanggung semua yang dilakukan negara. Benar pula ungkapan Jawa 'Anak polah, bapa kepradah'. Dalam ungkapan tersebut dapat kita artikan bahwa negara dilahirkan oleh keinginan bersama rakyat. Maka, dengan demikian negara adalah tak lain anak rakyat, milik rakyat. Dan rakyatlah yang membuat ia ada. Maka tak heran jika kemudian pemerintah benar-benar telah menerapkan hal tersebut ke dalam kehidupan benegara.

Pemerintah saat ini terlalu manja. Ia anak cengeng yang tidak terlalu berani untuk melakukan sebuah pengembaraan liar. Ia masih suka menetek ibunya. Ia masih suka mengadu pada bapaknya. Lantas rakyat, bapak sang negara mau mengadu pada siapa? Celakanya, rakyat hanya bisa mengaduh.

Salam,


Ribut Achwandi

Komentar