Narasi Luka Poniyem

Di bawah naungan sinar matahari yang tak lagi akrab, seorang nenek yang hidup sebatang kara di sebuah gubuk kontarkannya, berjalan terseok menyusur jalan beraspal. Semangatnya kini tengah memuncak. Sebab, sesuatu yang telah ia nanti sejak lama terkabul sudah. Harapan untuk menatap matahari yang tersenyum mungkin agaknya akan menjadi sebuah mimpi yang paling indah dalam hidupnya akhir-akhir ini. Namun matahari bagaimanapun juga tidak pernah tersenyum. Juga tak pernah cemberut. Matahari selalu angkuh di atas sana. Namun kali ini, nenek yang bernama Poniyem ini tak peduli dengan keangkuhan matahari. Di tangan kanannya, sebuah kertas mungil berwarna biru muda dengan beberapa deret huruf tercetak di sana, dan jika dibaca maka akan muncul sebuah nama di sana. Tak lain adalah nama suami tercintanya yang telah meninggal 3 tahun yang lalu. Kini nama tersebut menjadi sebuah senjata ampuh yang menyertainya.

Betapa tidak, nama itulah yang nantinya akan dapat mengabulkan keinginannya. Setidaknya ini sedikit membenarkan bahwa seorang istri yang baik dan setia akan selalu membawa berkah bagi dirinya sendiri. Kulum senyumnya nampak merekah ketika itu. Dipandanginya lembar kertas yang sangat berharga baginya itu. Sesekali celoteh kecil muncul dari bibir yang keriput karena usia.

"Ya, semoga saja aku bisa membuat segalanya menjadi lebih baik." ujarnya.

Langkah gontainya kini tengah memasuki halaman sebuah kantor pos di bilangan Hassanudin. Dilihatnya beberapa orang tengah duduk-duduk menunggu giliran. Tentu, ia pun paham akan itu. Sebab, ia pun akan melakukan hal sama dengan mereka. Segera ia mengambil tempat duduk dan memangku tangannya yang renta.

Teriknya matahari mungkin tak dirasanya kini. Oleh sebab, angin yang beberapa hari lalu mengetuk pintu rumahnya membawa kabar baik mengenai peristiwa hari ini. Peristiwa besar yang ia nanti setelah tersembunyi di balik kabar buruk lainnya.

"Harga BBM naik, sekarang ada bantuan lagi." ungkapnya.

Tak berapa lama namanya disebut. Iapun beringsut dari kursi empuk berwarna merah. Merapikan potongan kertas kecil dan sedikit melempangkan kertas yang ia lipat tadi. Bahu bungkuknya menampakkan semakin tak sabar ia menerima kabar baik itu. Segera ia sodorkan beberapa lembar kertas yang tak lain KK, KTP-nya, Kartu sakti penerima bantuan pemerintah, serta selembar lagi surat kuasa yang mengatasnamakan suami tercintanya. Oh, sungguh berharganya ia kini. Kesendirian rupanya tidak harus dibayar dengan penderitaan. Terkadang kesendirian baginya kadang lebih indah ketika ia mampu mengenang kisah lamanya yang indah dan serba romantis dengan suaminya dulu.

"Kartunya, Mbah." sambut sang petugas.

Ia diam dan langsung menyodorkan semua berkas yang tak tahu apa isinya. Yang ia tahu, ketika ia mendatangi kantor kelurahan tadi hanya dibubuhkannya cap jempol dengan tinta berwarna biru keunguan. Ia benar-benar tidak tahu persis. Yang ia tahu, ketika ia sudah menyerahkan kartu itu dan semua berkas yang ia bawa maka tak lama 3 lembar uang seratusan ribu akan segera mendarat di telapak tangannya. Itu saja.

"Lho, Mbah KTP-nya kok bukan yang aslinya?" tanya sang petugas.

"Itu KTP saya. Itu asli." jawabnya polos.

"Maksud saya kok ini KTP sama kartunya beda nama?"

"Oh, itu suami saya. Nama yang di kartu itu suami saya."

"Ini tidak bisa Mbah. Harus KTP suami Mbah."

"Lha kan suami saya sudah meninggal. Tadi juga saya sudah minta surat kuasa sama Pak Lurah. Dulu juga boleh kok, Pak." sedikit mulai pudar air mukanya yang tadi secerah rembulan purnama. Kini ia berhadapan dengan kemungkinan harapan kosongnya. Maka wajar jika ia memohon.

"Iya Mbah tapi sekarang sudah tidak boleh." agaknya sang petugas pun sedikit kelimpungan memberikan penjelasan pada nenek yang janda ini.

"Wah ya kalau gitu ya sudah, Pak. Saya cuma manut." Poniyem mulai menarik bahunya yang mulai rapuh dan sedikit menggeser telapak kakinya pertanda menyerah.

"Nah, Simbah pulang saja dulu biar nanti Bapak-bapak petugas ini yang akan mampir ke rumah Mbah."

"Lah tapi itu kartunya sama KTP?" ia menjulurkan tangannya yang mulai lemah.

"Oh ini biar ditinggal dulu." jelas sang petugas sabar.

"Lho, nggak boleh dibawa pulang?" pertanyaan Poniyem nampaknya sedikit menekan sang petugas yang sedari tadi berdiri dan melayani puluhan pengantre. Habis pula kata dari mulut sang petugas untuk sekadar menjelaskan pada Poniyem.

"Nggak boleh?" Poniyem kembali mengulang dengan nada suara yang parau dan habis tenaga dan semangatnya.

Sang petugas yang sebentar terbengong tadi terhenyak dan hanya memberikan berkas-berkas itu kembali di tangan Poniyem. Meski ia tahu itu bukan cara tepat untuk menyelesaikan masalah. Bahkan, ini akan semakin akan meruncingkan situasi. "Oh ya ini Mbah."

Tubuh renta Poniyem membalik sudah. Dibawanya langkah gontai, menyeretnya kembali ke pondok kayu kecil di sebuah kawasan pinggir kota. Gubuk Kontrakannya nampak tak jauh lagi. Di depan mata, nganga pintu gubuknya yang selalu tergenang air pasang laut Jawa tengah menyambutnya kembali. Tentu ia akan kembali mengakrabi tanah basah yang menjadi lantai gubuknya.

"Pakne, maafkan aku ya Pak. Aku tidak bisa membuat selamatan nyewu buat Bapak. Ya, karena aku tidak bisa ambil duit itu." ucapnya dengan sesal. Matanya yang mulai dikelilingi cabang-cabang kerutan lantaran waktu mulai berkaca sudah. Dalam pikirannya tersirat, kebaktiannya kini terhadap suami tercintanya Kodri mulai terusik. Cintanya yang begitu mendalam seakan dipudarkan oleh sebab yang tak ia nyana sebelumnya sembari menatap foto sang suami dalam bingkai usang sang suami.

"Maafkan aku ya Pak." ucapnya lirih.

Ribut Achwandi_Komunitas Godhong

Komentar