Apa Kabar Dunia [?]

Guguran daun akasya di suatu pagi musim kemarau sedikit membuatku tersadar. Rupanya aku sudah terlalu lama untuk meninggalkan dan mencampakkan bumi ini. Aku lihat wajahnya mulai bopeng karena gas emisi hasil limbah mesin penggilas waktu. Nampak kasihan betul. Luka di sekujur tubuhnya yang makin hari makin nganga tak pula terobati. Sesaat kemudian aku bertanya 'Adakah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menyembuhkannya?'. Kuangkat gagang telepon, memencet sembarang angka.

"Oh, maaf Tuhan sedang sibuk. Urus saja urusanmu sendiri." suara seorang lelaki di ujung gagang telepon.

"Maaf, siapa ini?"

"Aku adalah kau. Tapi kau bukan aku."

"Jangan main-main!" hardikku.

"Anggap saja ini tebakan. Sebab, dunia ini penuh dengan tebakan. Dan bukankah kau sendiri yang memulainya?"

"Aku tak mengerti?"

"Maaf, siapa yang engkau telepon saat ini?"

"Aku yakin bukan kau."

"Memang bukan aku tapi kau sendiri."

"Sialan!" umpatku. Langsung aku banting gagang telepon.

Belakangan memang sering aku alami kejadian aneh semacam ini. Aku tak habis pikir kenapa. Tuhan mengirimiku segudang peristiwa yang tak aku pahami. Tuhan, jangan kau kirimi aku teka-teki ini. Aku mohon.

Dua lembar kertas di atas meja masih nampak bersih tanpa sedikitpun noda. Ku jumput mereka lalu mulai kugores mereka dengan ujung pena yang tak cukup tajam itu. Dan mulailah aku memainkan kata.

Apa kabar dunia? Lama kau diam tak ada kabar. Kau nampak kurus kini. Kenapa? Sakit? Atau kau depresi? Sudahlah, tak perlu hiraukan mereka. Manusia memang punya ulah yang aneh. Dunia, sudah lama ya kita tidak ngobrol. Aku rasa sudah tiga atau empat bulan ini. Maaf, aku sedang terlalu disibuki dengan urusan-urusanku. Kerjaan kantorlah, urusan dapurlah. Semuanya benar-benar telah menyita waktuku. Kadang di dalam kamar ketika aku mulai rebah, aku merindukan saat indah bersamamu. Kadang pula tidak. Oya, sudah bertemu Tuhan dunia? Dia sedang apa kini? Aku rasa kau sangat memahami Dia. Jadi, tidak salah kan jika aku menanyakan Tuhan padamu?

Ting...tong....bel pintu rumah berbunyi.

"Siapa?"

"Helena."

Bergegas aku meraih gagang pintu. "Oh Tuhan, Helen..." sapaku.

"Gea, aku terima suratmu beberapa waktu lalu. Makanya aku kemari."

"Surat?"

"Kau tak ingat?"

"Aku tidak pernah mengirimi kau surat."

"Lantas siapa?" tanya Helen.

"Sungguh!" sejenak bengong. "Ah, masuk saja dulu. Kita bicarakan nanti."

[bersambung]

Komentar