Darwinisme

Pada sebuah rumah yang tak terlalu mewah, tinggallah di sana sebuah keluarga kecil. Ayah, Ibu dan seorang anak namanya Barjo. Keluarga ini cukup harmonis dalam menjalani kehidupannya. Ayah adalah seorang tenaga pengajar fakultas filsafat pada sebuah perguruan tinggi. Ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang sesekali juga memiliki jadwal untuk mengisi kuliah luar biasa di beberapa kampus. Namun Barjo, anak mereka yang masih berusia 10 tahun ini justru betul-betul di jauhkan dari bangku sekolah. Alasannya, karena mereka takut jika nanti ia disekolahkan justru akan menghambat daya kreatifitas Barjo. Mereka beranggapan, bangku sekolah tak ubahnya bangku pesakitan yang akan mengubah dunia kreatifitas Barjo menjadi mandul serta hanya akan terdoktrinasi oleh pendiktean. Untuk alasan itulah mereka membiarkan Barjo tumbuh secara alami. Mendewasakan dirinya sendiri dengan bekal pengetahuan yang kadang sulit untuk dimengerti seperti pada sebuah percakapan malam antara Barjo dengan ayah tercintanya ini menjelang tidur.

Kali ini percakapan dimulai dari lontaran pertanyaan Barjo. Dia bilang, "Yah, kenapa banyak orang menganggap teori evolusi Darwin itu salah?"

Sang ayah tersenyum geli mendengar pertanyaan itu.

Barjo kecilpun bingung dengan sikap ayahnya ini. Tatapan matanya yang polos sepertinya tengah menangkap sebuah sinyal kejanggalan pada senyum ayahnya. Tanpa ba-bi-bu Barjo pun kembali bertanya. "Kenapa ayah tersenyum saja?"

Senyum sang ayah semakin melebar saja.

"Apa Barjo salah menanyakan itu?" tanya Barjo lagi.

Sang ayah diam kemudian. Lalu sedikit menata nafas dan menata rangkaian gerbong kalimat yang akan diluncurkannya dalam ungkapan yang tentu akan mudah dimaklumi oleh Barjo.

"Sebenarnya teori Darwin itu tidak salah tapi keliru."

"Maksudnya, Yah?" kali ini Barjo bersemangat untuk menanti penjelasan sang ayah.

"Maksud Ayah, teori Darwin itu tidak sepenuhnya salah. Kenapa? Karena teori Darwin ini bahkan justru melampaui pemikiran orang-orang sezamannya. Coba lihat sekarang, setelah banyak orang menganggap dirinya bukan hasil evolusi ala Darwin ini ternyata banyak orang yang bertingkah polah bahkan lebih gila dari seekor kera. Di televisi, di majalah-majalah bahkan di koran maupun di kampung kita ini, banyak juga orang yang tidak sadar kalau sikap mereka ini lebih gila dari seekor kera. Lagian mana ada kera mau korupsi?"

Barjo pun mengangguk.

"Kenapa? Karena ternyata Darwin belum melengkapi teorinya dengan memandang aspek sosiologi dan antropologinya. Jadi, ya banyak pula orang yang protes dengan teori evolusi Darwin ini." jelas sang ayah.

Komentar