Kethoprak "Putri Cina" Semangat Multikulturalisme

Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional merupakan sebuah momentum besar yang akan segera menjadi sebuah titik balik bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi polemik kebangsaan yang akhir-akhir ini kembali mencuat ke permukaan. Pertarungan politik antar kelompok-kelompok tertentu, pertikaian partai dan masalah bagi-bagi kekuasaan yang tidak kunjung mereda malah menjadi semakin memanas. Hal inilah yang kemudian semakin membuat rakyat tidak percaya kepada pemerintah.

Namun sebenarnya, di balik masalah-masalah tersebut ada sebuah masalah yang lebih penting yang mungkin sampai saat ini tidak pernah ada upaya dari semua pihak untuk menyelesaikannya. Bahkan pemerintah sendiri seolah berpangku tangan terhadap masalah ini. Pemerintah justru lebih memasalahkan hal-hal yang lebih bersifat praksis. Masalah ekonomi, politik dengan mengesampingkan masalah sosial dan budaya yang kemudian terkena imbas dari persoalan-persoalan tersebut.

Beberapa kalangan menilai usaha untuk melakukan pelurusan sejarah dalam hubungannya dengan budaya sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk kembali mencari jati diri bangsa ini. Mengingat sejarah budaya bangsa ini semakin hari semakin jauh menyimpang dari fakta-fakta yang ditemukan khususnya hubungannya dengan polemik multikulturalisme antara kutub-kutub budaya yang berbeda yang mau tidak mau harus diakui sebagai pemerkaya khazanah budaya bangsa. Di sisi lain, permasalahan budaya, sejak masa orde baru seolah menjadi masalah yang kesekian. Dengan demikian, masalah-masalah budaya dipandang tidak begitu penting oleh kekuasaan. Padahal, sebagaimana pernah dikatakan oleh Gus Dur, bangsa ini seharusnya dibangun di atas pondasi-pondasi yang kuat bukan pada pembangunan fisik yang lebih menonjolkan aspek rekayasa estetik yang lebih mengesampingkan wilayah filosofis bangsa.

Tampaknya, upaya pelurusan sejarah budaya ini akan semakin menemui kendala besar dari tekanan-tekanan politisi yang mulai bermain dengan kekuasaannya. Namun demikian, secara optimistis kalangan budaya ini tidak pernah menyerah begitu saja. Salah satu bukti yang mungkin dapat dijadikan contoh ialah pementasan kethoprak dengan lakon "Putri Cina" yang merupakan saduran dari novel karya romo sastra Sindhunata yang akan segera dipentaskan di kota nederland kecil, 27 April mendatang. Pementasan yang akan dimeriahkan dengan sederet nama seniman kenamaan sebut saja Marwoto, Kirun, Den Baguse, dan sederet sastrawan papan atas seperti Timur Sinar Suprabana, Triyanto Triwikromo, Darmanto Jatman, Eko Budiharjo, dan sebagainya sepertinya akan kembali menggugah semangat kebangkitan nasional yang akhir-akhir ini mulai surut. Dalam jumpa pers-nya hari kemarin (Jumat, 18 April) Haryanto K. Halim (Ketua Kopisemawis) mengungkapkan, "Rangkaian kegiatan peringatan 100 tahun kebangkitan nasional ini merupakan sebuah reflkeksi kegelisahan budaya yang akan diaktualisasikan dalam sebuah pementasan dan bedah buku 'Putri Cina' karya Sindhunata. Selain itu, rangkaian kegiatan ini sekaligus sebagai upaya penyadaran masyarakat mengenai semangat multikulturalisme yang akhir-akhir ini mulai surut."

Bahkan Triyanto Triwikromo yang hadir dalam jumpa pers tersebut menambahkan, "Persoalan budaya terutama budaya bangsa ini sebenarnya sejak dulu dibangun atas prakarsa bersama yang mengedepankan semangat kebersamaan. Namun dalam perjalanannya dalam sejarah bangsa ini terjadi gejolak yang tidak dapat dinafikkan lagi, selalu ada korban yang harus dijatuhkan demi kepentingan-kepentingan elite politik. Di dalam Putri Cina, Sindhunata kembali menguak tabir sejarah mengenai perjalanan etnis Cina ini yang selalu dijadikan kambing hitam dalam proses politik. Dengan sentuhan rekayasa estetik, kehadiran etnis Cina selalu dieliminir dan bahkan didiskreditkan di hadapan publik sebagai biang kerok carut marutnya bangsa ini. Padahal, tidak sedikit sumbangan yang sudah mereka berikan terhadap budaya bangsa ini. Salah satu buktinya, berbagai bentuk-bentuk kesenian baik itu tari, seni rupa maupun sastra terkadang atau malah sering kali kita jumpai adanya sentuhan oriental yang terwujud baik dari segi kostum maupun elemen-elemen lainnya.Hal yang demikian seharusnya menjadi sebuah pelajaran penting bagi bangsa ini untuk lebih menghargai sesama. "

Dalam perjalanan panjang sejarah bangsa ini memang harus diakui etnis Cina sering dicundangi. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman masa lalu di zaman Brawijaya yang menceraikan istrinya yang notabene seorang putri Cina yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada kelangsungan hidup Majapahit selanjutnya. Perebutan kekuasaan yang digerakkan oleh Raden Fatah pun, di dalamnya terdapat wacana mengenai putri Cina ini. Masa penjajahan Belanda, merupakan masa-masa yang sangat pahit bagi pendatang dari jauh ini. Kebijakan pemerintahan kolonial yang mencoba mengkotakkan etnis Cina ini telah melahirkan pertempuran batin yang sengit bahkan ini diwujudkan dalam sebuah tradisi Seton yang diterapkan kalangan kerajaan Mataram Surakarta. Belanda pada masa itu memang telah membentuk pemerintahan yang sedemikian kuatnya. Mereka mencoba memonopoli kekuasaan di segala aspek kahidupan, tidak terkecuali ekonomi. Penguasaan bidang ekonomi ini mau tidak mau telah menautkan masalah-masalah budaya yang dibentuk sedemikian rupa dengan tujuan memporandakan bangunan budaya. Hal serupa juga terjadi ketika masa-masa awal kemerdekaan. Kalangan militer mencoba menyeret pengusaha Cina ke dalam pertarungan politik yang dimotori oleh kekuatan-kekuatan partai. Bahkan, kalangan militer inilah yang kemudian mencoba menjebloskan mereka ke dalam penjara dengan dalih mereka adalah antek-antek komunis koumintang di bawah bayang-bayang Mao. Stigma ini rupanya berhasil dilakukan dan diteruskan sampai masa orde baru yang sedemikian kuatnya. Namun di sisi lain, penguasa orde baru ini juga bermain mata dengan kalangan konglomerat Cina. Ironis memang, namun itulah politik. Di akhir masa era orde baru, etnis Cina kembali menjadi sasaran. Bahkan dengan membabibuta, etnis ini kemudian harus menanggung duka mendalam dari sebuah proses politik yang tidak diketahunya. Bagaimana dengan sekarang?

Saya kira, sudah selayaknya kita mulai berkaca kembali dari sejarah yang carut-marut ini. Dengan demikian diharapkan 'Putri Cina' tidak kembali terpuruk menagis di hadapan perahu Ceng Ho dan meminta sang panglima besar ini untuk mengembalikannya ke tanah asal mereka. Harus diakui etnis Cina merupakan pengelana yang tangguh. Seharusnya pula kita belajar dari mereka. Bahkan dalam sebuah hadist disebutkan "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina." Tentu hadist tersebut memiliki makna mendalam dari sebuah pengalaman nabi Muhammad dan sudah barang tentu pula, Muhammad memiliki alasan yang kuat. Namun kenapa kita tidak pernah mau menggalinya? [Ribut Achwandi_Komunitas Sastra Godhong]

Komentar