Memandang Polemik Ahmadiyah

Kemelut soal ajaran Ahmadiyah akhir-akhir ini kembali mencuat ke permukaan. Bayak kalangan yang kemudian memberikan tudingan 'SESAT' kepada saudara kita jamaah Ahmadiyah. Ada apa sebenarnya di balik ini semua? Masyarakat semakin tidak jelas dan tidak dapat memahami persoalan yang mungkin sengaja dibuatnya semakin keruh ini. MUI sebagai lembaga yang kemudian seolah-olah menjadi otoritas politis religius ini semakin menggencarkan serangannya terhadap aliran ini. Mereka seolah menjadi penentu akhir [Tuhan] tanpa kuasa yang merebut kekuasaan Tuhan yang hakiki dengan memgarisbawahi dan memberi catatan-catatan khusus bagi pengikut Ahmadiyah. Padahal, Tuhan sendiri tidak marah ketika Ia sendiri bahkan diingkari oleh umatnya sendiri. Bahkan dengan sabar Tuhan hanya memberi peringatan kecil dengan firman-Nya.

Saya melihat ada semacam kepentingan politik di sini dan semoga saja anggapan saya ini salah. Kepentingan yang dimainkan oleh elite religius politis yang bernama kalangan Ulama. Entah kepentingan mereka ini apa, saya sendiri susah untuk dapat menjabarkannya sebab, salah-salah kalangan ulama ini nantinya juga akan mencap saya 'SESAT' pula.

Ah, mungkin ulama-ulama yang sedang berkumpul di MUI ini sedang bercanda. Atau justru sebaliknya, mereka masih berupaya mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah yang lebih besar lagi karena 'pesanan' kekuasaan?

Persoalan Tuhan dan Agama memang tidak pernah dapat diselesaikan. Sebab, agama merupakan unsur yang sangat renik dan sangat mikroskopik atau bahkan merupakan unsur yang di luar jangkauan logika dan rasionalitas. Saya kira MUI perlu berpijak pada kearifan keilmuan para ulama ini yang notabene sebagai orang yang memiliki tingkatan keilmuan yang cukup mumpuni. Dan bagi kita sebagai kaum awam, hal terpenting adalah bagaimana kita meneguhkan hati kita dalam meyakini keimanan kita dan mulailah meningkatkan ketaatan dan kecintaan kita kepada Tuhan. Saya kira itu jalan terbaik bagi semua. Pemberian label 'SESAT' sama artinya kita memberi cap pada diri kita menjadi 'SESAT' pula. Sebab, dengan demikian kita akan merasa lebih benas atau bahkan paling benar, paling baik dan itu sudah melanggar hukum Tuhan itu sendiri. Bukankah yang paling Maha Benar adalah Tuhan itu sendiri?

Komentar