100 tahun Indonesia Bangkit

Sebuah pidato yang sangat manis dari seorang pemimpin bangsa yang tengah terpuruk saya saksikan dari sebuah layar televisi berukuran 14 inchi. Dengan sedikit memberikan kobaran semangat 100 tahun kebangkitan nasional yang menjadi pokok perhatian pidatonya ia mengungkapkan keluh kesahnya mengenai nasib bangsa yang masih tak jelas akibat dari kondisi politik global yang rupanya sangat sulit untuk ditebak dan sangat sukar untuk diikuti. Kemauan politik global yang sedemikian rumitnya diakui telah membuat bangsa yang kini menghadapi masalah-masalah rumit di dalam memberikan pengayoman terhadap rakyatnya semakin terhimpit. Dengan sedikit sentuhan nada datar yang seolah memberikan ketenteraman sang presiden ini mencoba mengolah tiga hal yang menjadi resep bagi penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa saat ini di antaranya kemandirian, daya saing dan peradaban bangsa.

Sungguh suatu hal yang mungkin dalam pikiran saya secara pribadi, merupakan hal yang sangat muluk. Sebab pada kenyataannya, negara kita sekarang ini berada dalam sebuah jurang yang sangat dalam hingga tidak mampu memberikan terjemahan yang konkret mengenai kemandirian. Persoalan hutang yang membelit negara yang menyebabkan 230 juta umat manusia yang meninggali negara kepulauan ini terbebani. Belum lagi persoalan kebijakan ekonomi yang sangat tidak membuat negara diuntungkan lantaran kondisi pasar global yang terus menerus menjadi acuan dalam penetapan kebijakan ekonomi dalam negeri serta masalah-masalah lain yang berkaitan dengan bentuk wajah demokratisasi negara yang terus berkaca pada ketentuan negara-negara yang dikatakan maju.

Di sisi lain, hal tersebut juga secara tidak langsung telah berpengaruh pada daya saing bangsa yang semakin hari semakin diragukan. Kondisi riil yang sedemikian dapat kita jumpai dengan semakin tidak diperhitungkannya suara negara yang bernama Indonesia ini di hadapan dunia internasional. Indonesia seakan menjadi bangsa yang tidak memiliki arti selain hanya untuk tujuan eksperimen dan eksploitasi bangsa-bangsa lain. Bolehlah kalau dulu kita agak bersombong ria karena kita memiliki kekuatan yang sedikit besar dengan adanya Gerakan Non Blok, Perserikatan Negara ASEAN, Organisasi Konferensi Islam dan masih banyak lagi organisasi kelas dunia yang sempat menjadikan bangsa ini memiliki pamor. Namun kini agaknya perpecahan politik global telah benar-benar semakin menunjukkan bahwa bangsa ini semakin tak menemukan arah yang jalas dalam mengembangkan sayapnya.

Hal ini sebenarnya jika kita runut kembali erat hubungannya dengan persoalan kepribadian bangsa. Kita ingat dalam setiap buku-buku yang kita lahap habis halaman perhalaman selalu menyebutkan bahwa kepribadian bangsa akan nampak jika ia memiliki sebuah peradaban yang mumpuni. Tidak harus maju, namun yang terpenting bagaimana langkah konkret bangsa dalam mengupayakan penciptaan peradaban ini memiliki sebuah keteguhan dalam memegang prinsip dasar negara. Sebab saya yakin, setiap peradaban yang diciptakan oleh sebuah bangsa tentu bermuara pada sebuah tujuan demi kemajuan bangsa. Namun di sini saya sedikit akan lebih menggarisbawahi masalah-masalah peradaban yang dikaitkan dengan penciptaan dan pembaruan aspek budaya sebagai langkah yang tentunya harus segera dikelola dan diupayakan oleh seluruh komponen bangsa. Mengingat masalah budaya rupa-rupanya tidak mendapatkan porsi yang cukup besar bagi pengembangan bangsa ini.

Kita ingat betul kemajuan peradaban bangsa-bangsa kuno seperti Mesir Kuno, Yunani, Cina dan bangsa-bangsa lain yang kita kenal dalam kitab-kitab kuno tentang sejarah mengemukakan selalu ditopang dari prinsip-prinsip penciptaan kebudayaan masyarakat. Yunani misalnya, di sana kita melihat ada banyak tokoh pencipta letak dasar prinsip kebudayaan yang kemudian menjadi sebuah pegangan hidup masyarakat. Seperti Plato, Aristoteles, Homer, Anaximendes dan masih banyak lagi yang lainnya. Tokoh-tokoh inilah kemudian mendapatkan tempat yang sangat dimuliakan. Di Mesir Kuno kita dapat lihat pula keberadaan budaya kuno yang kini menjadi aset wisata sejarah yang sangat mahal harganya itu juga memiliki kekuatan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan turut membentuk kekuatan negara. Namun coba kita tilik bangsa kita, sudahkah sedikit memberi peluang yang lebih besar bagi pengembangan budaya? Kalaupun iya, sejauhmana hal tersebut dapat dilakukan?

Kebudayaan di negara yang notabene memiliki ragam budaya lokal ini rupanya hanya menjadi sekadar hiburan bagi kepenatan. Budaya seolah menjadi aspek yang harus dipisahkan dari penyelenggaraan negara secara mendasar. Padahal dijelaskan dalam UUD 1945 alinea 4 dan Sila kedua Pancasila bahwa letak titik dasar kemanusiaan adalah peradaban yang dijiwai keadilan sebagai semangat penyelenggaraan negara. Dan sepanjang yang saya tahu, peradaban lahir dari sebuah budaya yang menjadi katalisator laju perkembangannya. Sehingga perlu bagi bangsa ini untuk kembali menilik persoalan budaya yang harusnya kita pegang dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi semua umat manusia yang meninggali negara ini.

Saya sedikit menyayangkan pernyataan presiden yang menyebutkan bahwa tantangan ke depan bangsa ini jauh lebih sulit dibandingkan dengan masa lampau. Pernyataan tersebut membuat saya berpikir secara silogisme bahwa usaha pendahulu kita untuk meraih kebebasan dan menciptakan peradaban bangsa ini merupakan usaha yang tidak sebanding dengan usaha bangsa pada saat ini. Harus diingat, bahwa kemauan keras pendahulu bangsa ini untuk memerdekakan diri bukan sebuah euforia belaka. Namun jauh lebih dari itu, mereka justru mencoba menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki martabat yang sama dengan bangsa lain yang tengah menguasai kekayaan ekonomi kita pada waktu itu. Perkosaan budaya secara besar-besaran dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan asing yang membuat bangsa ini pada waktu itu bahkan kehilangan kendali akibat dari hilangnya citra bangsa yang sesungguhnya. Kebudayaan hanya menjadi komoditas keberhasilan ekonomi bangsa penguasa waktu itu. Dengan tidak segan-segan mereka pun memamerkan hasil budaya bangsa ini di depan bangsa-bangsa kolonial dalam festival budaya bangsa-bangsa kolonial di Eropa sana. Bahkan dengan memamerkan hal tersebut, kemudian bangsa penjajah ini semakin mampu melenggang dengan congkak dan mengatakan ini adalah hasil budaya yang mereka tanamkan. Bahwa bangsa yang mereka kuasai merupakan bangsa yang sangat mudah untuk ditaklukkan. Hal ini seharusnya semakin membuka mata kepala kita agar pemerintah lebih tegas dalam melakukan langkah strategis politik dunia. Saya kira pemerintah masih perlu banyak lagi membaca buku-buku sejarah. Hal ini sebagai langkah awal meskipun terlambat untuk memberikan kajian yang lebih komprehensif dan aktual dalam menetapkan sikap sebagai bangsa yang mandiri.

Tema Indonesia Bisa dalam peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi refleksi yang menantang bagi bangsa ini dan semakin arif dalam menanggapi persoalan yang dihadapi. Saya harap, bangsa yang besar ini tidak terlalu gegabah. Amin...

Ribut Achwandi

Komentar