Menuju Pencerahan

Salam,

Mengintip SASTRA Kita


Dalam sebuah perbincangan menarik saya dengan salah seorang sastrawan besar negeri ini yang kebetulan salah seorang 'guru' saya Ahmad Tohari (Kang Tohari) sempat terdiskusikan di sana, bahwa hakikat SASTRA merupakan nafas dan denyur nadi kehidupan itu sendiri. Ia adalah pusat kehidupan yang diciptakan dalam sebuah kosmos yang dibatasi oleh kata dan tata kalimat. Namun demikian, hal tersebut hanyalah sebuah wujud fisik saja. Jauh ke dalam, ketika kita mengupas hakikat maka akan kita jumpai ada banyak hal yang tidak terjamah oleh kita sebagai penikmat SASTRA maupun sebagai awam mengenai keterlibatan SASTRA dalam proses penciptaan alam raya dan makna-makna yang tersembunyi dalam menerjemahkan kehidupan. SASTRA menjadi sebuah sekumpulan kata sandi yang penuh dengan teka-teki untuk dapat membuka tabir kehidupan. Dan hal ini kemudian dicontohkan oleh sang novelis yang kini telah menikmati surga kehidupan di alam pedesaan ini, bahwa mau tidak mau sebenarnya kitab-kitab suci agama-agama apapun adalah sebuah karya SASTRA, jelasnya. Semula saya sontak tak begitu yakin dengan apa yang ia katakan. Namun lambat laun saya berusaha mengunyah pelan maksud dari kata-katanya. Belum juga selesai aku kunyah, tiba-tiba iapun kembali menyodorkan kepada saya secangkir kalimat. Kalau kita mau memahami dan mendalami sastra lebih jauh dan lebih dalam lagi, alam raya ini sebenarnya sebuah perwujud sastra yang sebenarnya.

Sungguh saya tidak menyangka sedemikian dalamnya. Saya pun tak segera menyeruput secangkir kalimat itu. Yang saya lakukan pada detik-detik awal, saya mencoba mengamati kejernihan kalimat yang tertuang dalam cangkir itu. Namun kembali ia memberondong saya dengan sebuah pernyataan. "Sekali waktu, tidak bisakah kamu nikmati dan rasakan jernihnya air kata yang saya suguhkan tanpa harus meragu? Sebab, kau tidak akan pernah tahu apakah itu ada racunnya atau tidak, atau justru malah tidak pernah akan dapat merasakan basahnya tenggorokanmu? Jangan terlalu menyiksa diri."

Ah, terlalunya saya. Rupanya tempurung kepala saya ini terlalu sesak dengan jejalan perangkat teori yang sedemikian rupa banyaknya. Saussure, Aristoteles, hingga Derrida, mereka berdesak-desakkan dalam tempurung kepala yang hanya mampu saya tutupi dengan songkok dari bahan sintetis.

Sejauh yang saya tahu soal SASTRA lagi-lagi hanya sebuah tulisan. Sejauh itu pula pemahaman saya terkadang mengambang. Dan saya kira tidak hanya saya saja yang demikian bodohnya. Bagaimana dengan Anda?


Seberapa Butuhkah Kita Akan SASTRA? [sebuah pertanyaan]

Kita sering bicara kenaikan harga BBM dan sembako. Kita juga sering kali mendiskusikan mahalnya biaya sekolah anak-anak kita. Bahkan tak jarang kita juga sering kali membicarakan tentang sebuah proses politik yang menyoroti pergantian penguasa. Tapi, di meja makan kita tak jarang pula kita lupa menaruh kudapan dan makanan serta minuman yang menyehatkan. Kita terlalu mabuk ketika membicarakan soal partai, soal bisnis, soal bagaimana kita mampu menyekolahkan anak kita dan bagaimana kita memperoleh pekerjaan. Memang tidak dapat dipungkiri ihwal itu sangat penting. Namun bukan sepatutnya hal tersebut akan menjadi sebuah sesuatu yang maha penting.

Dan saya ingat, suatu pagi ketika kami (Kang Tohari dan saya) tengah dengan asyik bersama-sama menyeruput kopi pagi di pelataran rumahnya. Dia berkata, "Kapan kamu merasa dipentingkan?"

Saya bingung dengan pertanyaan itu. Dalam pikiran saya, saya tidak pernah merasa dipentingkan. Bahkan dalam keadaan gawat sekalipun saya merasa tidak terlalu dipentingkan. Sebab, dalam kehidupan saya mungkin saya bukanlah apa-apa dan siapa-siapa. Tapi yang terpenting saya tetap memiliki niatan baik untuk sekadar memberikan bantuan.

Namun dari balik kacamatanya rupanya Kang Tohari masih mengamati kebingungan saya. Kemudian dia pun berkata, "Apakah tidak pernah dalam kehidupan kamu ini memiliki saat-saat dimana kamu dipentingkan?"

Saya menjawab, "Saya bukan orang penting, Kang. Jadi kapan saya akan dipentingkan."

Senyumnya melebar dan segeralah menyusul suara tawa. Koran pagi yang ia baca kemudian ia letakkan di atas meja yang berukuran 100 x 60 x 50 cm yang tepat berada di hadapan kami. Kemudian dia katakan "Di dunia ini tidak pernah ada orang penting. Bahkan presiden sekalipun. Sebab, jika ada seseorang yang mengaku dirinya penting, maka sebenarnya ia lupa akan ikrarnya yang secara tak sadar telah mengikat hubungannya dengan Tuhan. Ingat, kalau kamu muslim, pernah kan kamu menjanjikan Tuhan bahwa kamu atau kita akan mengakui hanya ada satu Tuhan tempat sandaran harapan-harapan kita? Makanya jika ada seseorang yang mengaku sebagai orang penting, ia sudah mendurhakai Tuhan. Dan celakanya, acap kali kita melakukan itu berulang-ulang tanpa kita sadari."

Dan begitu pula rupanya yang terjadi dengan sastra kita. Tanpa sadar kita telah mencampakkan sastra kita. Oleh sebab, kita tidak menyadari bahwa hal-hal yang berada di luar konteks sastra kita merupakan bagian kecil dari dunia sastra itu sendiri. Bahkan kalau kita tarik pada sebuah pendiskusian sastra yang dikaitkan dengan masalah-masalah kebangsaan maka kita akan menemukan sebuah kecenderungan yang negatif dari setiap rezim yang lebih memproporsionalkan masalah-masalah kenegaraan yang didasarkan pada kekuatan-kekuatan di luar konteks sastra. Padahal, sebagaimana kita ketahui bahwa kemajuan sebuah bangsa justru dilihat dari kemajuan budaya masyarakatnya. Bukan pada sektor pembangunan fisik yang pernah dilakukan Soeharto dan kini SBY malah berupaya membangun tumpuan politiknya melalui ekonomi yang hanya menjadi isapan jempol semata. Bisnis yang dijalankan oleh pemerintah nyata-nyata gagal mengingat ia justru meninggalkan karakter asli dari masyarakatnya. Bahkan kalau boleh saya berkomentar mengenai kondisi saat ini, pemerintah telah dengan nyata-nyata membangun istana kepedihan rakyat. Hal ini dibuktikannya dengan adanya semakin merajalelanya raja-raja kecil. Kekuasaan bahkan telah dengan sengaja mencundangi budaya. Estetika seolah menjadi kitab kuno yang hanya dapat dilelangkan dalam sebuah pelelangan barang antik. Lalu dengan leluasa kekuasaan membuat kitab baru estetika dengan redaksional yang sedemikian rupa. Hingga pada akhirnya, bangsa yang katanya kaya akan khazanah budaya lokal ini pun hanya bisa gigit jari melihat kemajuan negara tetangga.

Sudah kita saksikan, Malaysia telah dengan bangga mengangkat budaya kita. Meskipun banyak menuai reaksi negatif dari negeri ini. Namun setidaknya hal tersebut seharusnya membelalakkan mata penguasa dan mampu menggugah kesadaran penguasa. Namun itu ternyata hanya menjadi harapan yang tak tahu kapan akan dikabulkan.

Bicara mengenai SASTRA kita sebenarnya kita tengah bicara soal hidup. Dan ketika kita berupaya mendiskusikan hidup berarti kita tengah melintas garis-garis atau jalur-jalur yang beranekaragam yang bermuara pada satu kata 'PENCERAHAN'.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita benar-benar telah memiliki kebutuhan yang mendasar dengan SASTRA? Kalaupun iya, sejak kapan kita menyadari hal tersebut? Sekarang? Saya kira tidak ada kata terlambat sebab roda perputaran waktu masih akan berlangsung lama. Jadi apakah kita harus menunggu waktu lelah berputar?


Berguru Arif pada Sang Guru

Nampaknya, kita perlu belajar banyak dari Sidharta Gautama tentang pencerahan, kita butuh membaca pikiran Muhammad mengenai penyadaran spiritual, kita pun butuh menelusuri tapak-tapak kaki kesengsaraan Yesus sebagai pemerkaya makna kasih, dan dari sanalah Tuhan kemudian akan muncul dalam sebuah kronologis yang sulit untuk dijabarkan dengan kata. Hanya dengan pemahaman makna. Dan tentunya, kita harus dengan segera bekali diri kita dengan pemahaman filosofi tentang makna sufi, avatar, dan ketaatan terhadap kekuasaan Tuhan. Namun terkadang, sering kita jumpai pemahaman Tuhan ternyata terpenggal oleh sebab perbedaan. Padahal, dengan perbedaan ini semestinya kita lebih sadar dan lebih mampu mengasah ketajaman pikiran kita untuk memahami sampai sejauhmana kita langkahkan kaki kita untuk sebuah proses penyadaran.

Dan di sinilah, di dunia sastra sebenarnya kita akan berjumpa pada kekuatan makna yang tidak hanya didasarkan pada kekuatan leksikal dan kekuatan metafora. Melainkan, lebih pada kekuatan spiritual yang mencoba mengusung kajian-kajian filosofinya.

Sudah saatnya SASTRA kita tidak hanya menjadi cermin melainkan pula harus menjadi pengisi kekosongan otak dan rohani kita. Semoga ini bermanfaat. Terima kasih.

Salam,

Komentar