Potret Muram Pendidikan

Potret muram dunia pendidikan di negeri ini nampaknya terus mewarnai setiap gambar wajah Indonesia. Persoalan demi persoalan datang tanpa terencana sepertinya tengah mengutuki wajah coreng-moreng dunia pendidikan yang tidak pernah tersenyum sedikitpun. Sepertinya pendidikan dijadikan sebuah dongeng putri tidur. Ia hanya akan bangun ketika seorang pangeran yang ditakdirkan akan mempersunting dan membuat sang putri tersenyum bahagia ini datang mendekati ranjang pesakitannya. Namun, lama betul sang pangeran ini datang. Hingga terlalu lelapnya sang putri terbuai mimpi. Entah, apakah memang itu mimpi baik atau justru mimpi buruk yang mengurungnya hingga tak mampu untuk terbangun lagi. Yang jelas, ia butuh kehadiran seorang pangeran.

Sedemikian pula dengan dunia pendidikan kita yang terkadung carut-marut. Ia hanya bisa menunggu kehadiran wajah pemimpin yang sangat memiliki kepedulian terhadap nasib pendidikan ini. Mengingat sampai saat ini, pendidikan kita lihat masih minim porsi dalam pembicaraan meja sidang baik kabinet maupun dewan kita. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya masalah-masalah yang selama ini masih saja ditangani dengan setengah hati.

Ketidakjelasan pelaksanaan Ujian Nasional misalnya, merupakan salah satu contoh kasus yang saya kira perlu mendapat perhatian dari semua kalangan. Tidak hanya penyelenggara pendidikan, melainkan juga masyarakat kita yang akhir-akhir ini terlalu kurang memberikan respon terhadap masalah-masalah ini. Di satu sisi saya melihat ada sebuah ketidaksinkronan antara kebutuhan masyarakat mengenai pelaksanaan ujian tersebut dengan kemauan keras pemerintah dalam mempertahankan pelaksanaan ujian ini. Ketidaksinkronan ini dinampakkan dengan saling bertolakbelakangnya asumsi masyarakat yang merasa kewalahan dan tidak siap menerima kebijakan tersebut. Lebih-lebih, hal tersebut dinilai sebagai pematah semangat siswa atau anak-anak mereka. Sebab, dari kacamata saya sebagai orang yang peduli, pelaksanaan ujian nasional ini mau tidak mau harus diakui sebagai pengebirian siswa sekolah. Bagaimana tidak, siswa dipaksa untuk mendapatkan angka (bukan nilai) yang distandardkan untuk sebuah kriteria bahwa siswa tersebut lulus setelah menempuh ujian tersebut dengan meraih angka yang sudah distandardkan. Sementara itu, ujian dilakukan secara nasional. Padahal sebagaimana diketahui bersama kemampuan siswa antara daerah satu dengan yang lain sangatlah berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat mobilitas dan pemerolehan informasi di daerah khususnya daerah terpencil sangat berbeda (kalau tidak mau dikatakan berbanding terbalik) dengan pusat kota-kota besar. Di samping itu, kualitas pendidikan pun antar daerah memiliki karakteristik yang unik (kalau tidak mau dikatakan berbeda).

Hal inilah yang kemudian dalam frame saya memiliki asumsi bahwa terjadinya ketidakjujuran dalam penyelenggaraan ujian nasional ini menjadi seolah-olah wajar-wajar saja. Tidak usah terlalu jauh, dalam hal ini sebenarnya kita sama-sama tahu bahwa ketidakjujuran ini (kalau tidak mau dikatakan kecurangan) sudah berlangsung lama. Bahkan sebenarnya tanpa adanya laporanpun penyelenggara pendidikanpun saya kira sudah 'sama-sama tahu'. Inilah yang kemudian menjadikan pincangnya dunia pendidikan kita. Di saat prinsip ideologis penyelenggaraan pendidikan yang menginginkan adanya kejujuran sebagai salah satu pembelajaran moral secara bersamaan hal tersebut seolah di-'halal'-kan untuk dilanggar. Alasannya, tetap sama seperti dulu, biar semua lulus dan kontan saja biar pihak sekolah dipercaya telah mencetak lulusan dengan 'baik'. Bahkan, mulus hingga 100%.

Memang, perlu disadari pula bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan ini dibutuhkan sedikit unsur 'pemaksaan'. Karena, hal tersebut sangat erat kaitannya dengan 'pendisiplinan kepribadian'. Kendati demikian, bentuk-bentuk pemaksaan ini pada akhirnya akan melahirkan bangsa kerdil yang hanya bisa dipaksa tanpa memiliki kesadaran yang muncul sebagai reaksi setiap permasalahan yang ada. Untuk itu, jangan salahkan jika kemudian dalam perkembangannya, masyarakat kita terlalu banyak menuntut. Sebab, mereka sejak keci telah dengan 'sopan' diajari mengenai hal-hal yang sifatnya memaksa.

Sementara itu, sistem yang dibangunpun tampaknya harus benar-benar 'sempurna' tanpa menghiraukan kemampuan daerah. Hal ini semakin membuat pertanyaan besar bagi pelaksanaan otonomi daerah yang notabene juga diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Apakah memang sudah dilaksanakan sepenuhnya atau justru harus menunggu dengan alasan 'belum siap'? [Ribut Achwandi]

Komentar