Hak Angket; Dari Senayan Hingga Balaikota Semarang

Tampaknya wacana untuk meng-hakangket-kan kepala pemerintahan kini menjadi trend yang cukup santer dilakukan oleh anggota dewan kita yang terhormat. Seiring dibukanya pintu gerbang demokrasi yang ditandai dengan kebebasan tiap-tiap orang untuk 'ngomong' alias berpendapat betul-betul dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat. Dalam hal inilah kemudian saya menangkap ada kecenderungan semua pihak untuk dapat menampilkan dirinya sebagai pencitraan yang memiliki kekuatan politik besar. Anggota DPR baik dari DPR RI maupun DPRD kota maupun kabupaten yang sebagian besar dari kalangan partai politik konon kini mulai menampilkan performa berani mereka. Sebuah tampilan yang saya kira cukup dimodifikasi sedemikian rupa agar tampak garang di hadapan eksekutif. Tapi apapun alasannya, pertama saya ingin ucapkan selamat dulu atas keberanian yang diciptakan atau sengaja diciptakan ini oleh para anggota legislatif ini.

Terlepas dari itu semua, saya kembali ingin menggarisi pada sebuah poin penting yang mungkin patut kita pikirkan bersama. Sebenarnya apa yang menjadi dasar pengguliran hak angket tersebut?

Kalau di gedung DPR RI sana mengatakan, wacana hak angket ini terkait dengan harga BBM yang terkadung melambung akibat pemerintahan SBY-JK berulah dengan menaikkan harga jualnya. Tapi kali ini berbeda dengan apa yang nampak di gedung DPRD Kota Semarang, yang notabene lebih menyuarakan pada persoalan penyelenggaraan PPD 2008 melalui jalur khusus yang 'bermasalah' alias rawan penyelewengan dan sarat korupsi. Saya tidak habis pikir, kenapa banyak hak angket yang digulirkan oleh anggota dewan yang terhormat ini justru muncul setelah rakyat telah kehabisan suara mereka untuk melakukan perlawanan. Ambillah contoh kasus besar yang tengah terjadi di negeri ini, kenaikan harga BBM yang telah berimbas pada semua lini ekonomi baik sektor mikro maupun makro hingga membuat masyarakat arus bawah ini semakin 'kere'. Lalu dengan mudahnya pemerintah menggencarkan serangan fajar mereka dengan menggelontorkan Bantuan Langsung Tunai sebagai 'sogokan' pemerintah atas derita rakyat itu. Kemudian membiarkan masyarakat kembali pada sebuah kondisi yang stagnan tanpa tahu harus berbuat apa dengan uang pecahan di tangan mereka itu untuk apa. Tak mau dianggap terlambat, DPR pun kemudian buru-buru menggelar sidang dengan agenda pengguliran hak angket terkait dengan kebijakan pemerintah tersebut.

Kini, wacana pengguliran hak angket justru mencuat di kota Semarang dengan agenda penyelidikan mengenai kebijakan pemerintah kota Semarang terkait penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik (PPD) tahun 2008 melalui jalur khusus. Konon, penyelenggaraan PPD jalur khusus yang seharusnya diperuntukkan bagi warga tidak mampu, anak guru, karyawan serta pemerhati pendidikan dan juga bagi calon peserta didik yang memiliki kontribusi besar bagi pendidikan (siswa berprestasi maupun siswa yang memiliki kemampuan ekonomi lebih). Namun pada kenyataannya, penyelenggaraan PPD jalur khusus ini justru hanya menjadi ajang lelang bangku sekolah dengan tawaran yang sangat mahal harganya. Dengan kata lain, siapa berani bayar mahal satu paket bangku sekolah, maka ia yang boleh mendudukinya. Sedang untuk anak guru, warga kurang mampu dan siswa berprestasi yang kebetulan tidak disokong cukup ongkos, silakan bersabar.

Kesabaran mungkin benar ada batasnya, namun perlakuan yang demikian tentu tidak dapat dibenarkan. Mengingat saat ini ada beberapa hal yang mungkin patut dicatat oleh penyelenggara pemerintahan. Dalam sebuah kesempatan yang cukup baik saya sempat bertanya pada Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Sri Santoso, sejauh ini apakah yang menjadi dasar dari pelaksanaan PPD jalur khusus tersebut? Dengan 'arif' beliau menjawab, "Dasarnya ya peraturan Kepala Dinas yang dikerucutkan pada petunjuk teknisnya."

Kurang puas saya kembali bertanya, "Lalu bagaimana teknisnya? Apakah dalam juknis ini juga menyertakan anak guru, karyawan maupun anak warga kurang mampu mendapatkan tempat khusus ini yang besarnya hanya sepuluh persen ini?"

"Ya tentu, kami sudah memperhitungkan semuanya. Mereka ini termasuk dalam prioritas." kali ini suaranya tegas, tandas.

Namun pada kesempatan lain ketika saya tanyakan hal yang sama nampaknya Sri Santoso berkilah, "Anak guru maupun warga kurang mampu ini kami prioritaskan dalam jalur reguler. Sebab, jalur khusus sudah ditutup." Hal senada juga diungkapkan Walikota Semarang Sukawi Sutarip.

Tentu ini sangat bertentangan dengan amanah juknis. Hal demikian, tentu saja sedikit membuat kalangan DPRD Kota Semarang berang dengan penelikungan aturan main ini. Bahkan, ketika saya menemui ketua komisi D DPRD Kota Semarang Ahmadi, dia langsung menyatakan hal tersebut sudah mengindikasikan adanya kecurangan. Bagaimana tidak, dari lima poin penting yang diterakan dalam juknis ternyata yang terpampang di papan pengumuman PPD hanya tiga poin. Dan ini dilakukan di seluruh sekolah yang hidup di kota Semarang.

"Ini adalah salah satu upaya kami dalam melakukan penggalangan dana. Dengan kata lain, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memajukan satuan pendidikan di sekolah." Kata salah seorang kepala sekolah yang sempat saya temui.

Nasi keburu menjadi bubur dan bubur ini telanjur lembut untuk dilumat. Kini tinggal mencicip manis asamnya saja. Masyarakat toh kembali tertipu. Hak angket sebagai ancaman yang akan menghadang pemerintah kota Semarang di bawah kendali sang Walikota ini pun mungkin sedikit akan menjadi bumbu pelezat. Setidaknya, akan sedikit memberikan aroma rasa bubur yang telanjur tertelan ini. Siapa yang salah?

Mungkin jawabannya nihil. Sebab, masyarakat telanjur sama-sama merasakan enaknya bubur ini. Tapi sebuah ketelanjuran ini nampaknya tidak dibiarkan begitu saja oleh semua kalangan. Bahkan, kini kasus ini sampai pula menjadi daftar penyelidikan Polwiltabes Semarang. Sedang di meja sidang nampaknya wacana hak angket segera akan digelar di sebuah sidang dalam akhir bulan Juli ini. Pertanyaannya adalah, kenapa DPRD Kota Semarang tampaknya mulai melakukan hal semacam ini ketika semuanya terlambat?

Mungkin tidak, sebab pada gilirannya nanti dengan pengguliran hak angket tersebut harapan kita sebagai warga kota Semarang ini tentu tetap optimis pada pelaksanaan PPD tahun 2009 maupun tahun-tahun berikutnya tidak terjadi hal yang sedemikian parahnya. Penelikungan atau kalau tidak mau dikatakan sebagai pengkhianatan terhadap Peraturan daerah mengenai penyelenggaraan pendidikan ini janganlah sampai menjadikan racun yang terbiarkan merasuk ke dalam tulang sumsum dunia pendidikan. Sebab, dengan adanya penelikungan ini sebenarnya pemerintah kota Semarang telah memberi racun pada siswa-siswa kita yang kadung cinta dengan bangku sekolah mereka. Mereka tentu ingin mengenal lebih banyak tentang segala hal namun tidak dengan cara semacam ini tentunya. Mereka tentu ingin lebih tahu banyak tentang semua yang terjadi di alam ini namun bukan berarti kita harus mencekokinya dengan keganjilan-keganjilan semacam ini. Apa artinya kantin kejujuran yang dulu sempat diresmikan bersama sebagai simbol kejujuran dunia pendidikan kita kalau pada kenyataannya justru regulasi kemudian dibohongkan atau dengan ungkapan yang lebih halus dikaburkan? Apa makna pendidikan jika kemudian hanya memberikan pelajaran mengenai bagaimana segala sesuatu dibolehkan dengan main telikung semacam ini?

Namun kembali ke pokok, keterlambatan DPRD kota Semarang juga kini patut kita awasi. Mungkin dalam hal ini saya lebih cenderung akan menggunakan metode buruk sangka daripada berbaik sangka. Sebab, wacana politik terkadang sulit untuk ditebak. Politik mau tidak mau ibarat sebuah seni untuk meliukkan layang-layang yang kita terbangkan di udara. Kita tidak pernah tahu ke mana arah angin berhembus. Pun kita tidak pernah tahu kapan layang-layang kita akan putus benangnya jika kita tidak benar-benar mengamati dan mampu memainkan layang-layang kita.

Dan mungkin dalam benak saya yang kotor ini kalau tidak mau dikatakan sarat kecurigaan ini, terlalu banyak daftar pertanyaan yang mungkin tidak sampai terdengar di meja dewan. Pertama, apakah dewan benar-benar menyuarakan keinginan kita? Kalau benar, sejauh mana mereka akan menyuarakan kepiluan kita? Kedua, hak angket sebenarnya untuk siapa? Kalau benar untuk rakyat, kenapa baru sekarang? Ketiga, mungkinkah anggota dewan ini tengah bermain-main saja? Kalau memang iya, maaf play group tidak mampu menampung Anda.

Ribut Achwandi [anggap saja orang gila]

Komentar