Kekuasaan Perempuan

Salam,

Kasus BLBI yang belakang kembali ramai dibincangkan di berbagai media dan menyeret sejumlah nama penting nampaknya benar-benar telah menampar muka bangsa ini. Lebih-lebih bagi kaum feminis lantaran salah satu aktor penting dalam proyek bagi-bagi duit tersebut juga menampilkan sosok perempuan yang kita kenal dengan nama Artalita Suryani. Tidak disangka ada sebuah fenomena yang sangat begitu luar biasanya dengan kemunculan sosok yang dikenal sebagai 'Ratu Lobi' ini. Sebab, dalam khazanah budaya kita perempuan senantiasa didudukkan pada porsi yang serba lemah dan harus menurut pada kungkungan laki-laki. Bahkan, dalam filosofis budaya Jawa kita kenal pula bahwa perempuan hanya menjadi bumbu pelengkap bagi kekuasaan laki-laki. Meskipun di satu sisi dengan kondisi semacam ini sebenarnya keberadaan kaum hawa ini sangat dimungkinkan adanya penyetiran terhadap kekuasaan laki-laki. Salah satu contoh kasus, kekuasaan raja-raja Jawa senantiasa bermasalah ketika dikaitkan dengan keberadaan perempuan. Ken Arok misalnya, seorang penguasa yang sukses menapaki tampuk kekuasaannya dengan gagah berani ini bahkan harus dilumpuhkan oleh peran Ken Dedes. Konspirasi yang dimainkan secara cerdas oleh Ken Dedes telah mematikan karakter kekuasaan Ken Arok sedemikian halusnya. Hingga hampir tak tersentuh.

Dalam beberapa mitos di belahan dunia lain pun senantiasa kita temukan hal serupa. Dewa Zeus yang merupakan dewa tertinggi dalam keyakinan peradaban Yunani Kuno harus puas di bawah kendali Dewi Hera yang selalu bermusuhan dengannya. Bahkan, dengan kesemena-menaan Hera, Zeus tetap saja tak dapat berbuat banyak. Malah ia hanya menyerahkan persoalan itu kepada Hercules sang anak dewa itu dari keturunan manusia. Hal ini sungguh menampakkan betapa lemahnya posisi kaum Adam.

Dengan demikian, sebenarnya kedudukan perempuan amat sangat menentukan konstalasi politik secara tidak langsung. Dan pengakuan ini tidak hanya harus menjadi isapan jempol belaka. Ingat, dalam sebuah ungkapan pernah pula disinggung 'Perempuan adalah tiang agama'. Ungkapan ini jelas membawa sebuah konsekuensi yang sangat besar. Sebab, dalam ungkapan selanjutnya dikatakan pula 'Agama adalah tiang negara'. Jika kedua ungkapan tersebut disilogismekan, maka dalam hal ini dua pernyataan tersebut akan diperoleh sebuah titik temu 'Perempuan adalah tiang negara'.

Dari pernyataan tersebut sudah sangat jelas bahwa kegoyahan kekuasaan sebenarnya tidak disebabkan adanya percikan api akibat gesekan politik yang dimainkan aktor-aktor politik. Atau adanya proses politik yang sengaja digulirkan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam meraih kekuasaan. Melainkan ini disebabkan adanya peranan perempuan di balik ini semua. Dalam hal ini perempuan memang tidak menampilkan sosoknya secara nyata namun kaum hawa ini hanya menjadi sosok pengukur waktu yang berada di balik layar dalam sebuah pertunjukan panggung dunia politik. Bagaimana tidak, kondisi tertekan yang dirasakan perempuan semakin lama semakin mendekati titik kulminasi. Semakin ia ditekan oleh sebuah konspirasi politik, maka kita tinggal menunggu ledakan dahsyat yang segera akan digulirkannya.

Saya ingat betul pada sebuah film yang menceritakan tentang Yunani Kuno yang dimainkan oleh Tom Cruise. Troy judulnya. Dalam film tersebut jelas perempuanlah yang memegang peran penuh atas konspirasi yang terjadi. Bukan Archiles maupun kaum laki-laki. Dalam film tersebut, menurut kacamata saya, Helena-lah sang pemegang kuncinya.

Dalam kasus yang kini ramai dibincangkan, Artalita menjadi tokoh kunci yang sebenarnya kalau mau ditelusuri lebih lanjut, akan dapat memunculkan dampak yang sangat luar biasa. Sayangnya, vonis hukuman telanjur dijatuhkan. Yang ini sama artinya dengan kasus ini akan segera berhenti. Sebab, semua kalangan yang terlibat dalam kasus ini tahu persis jika Artalita berhasil membuka pintu kebobrokan kekuasaan, maka semuanya akan hancur. Kekuasaan atas negara yang kini berada di genggaman laki-laki, dapat dipastikan akan terburai. Negara hanya menjadi bangkai yang tak berharga lagi.

Di satu sisi, saya melihat fenomena ketokohan Artalita patut menjadi catatan khusus bagi negara ini yang tengah terpuruk oleh kegamangannya sendiri. Di sisi lain kemunculan Artalita yang cukup mencengangkan kita, seharusnya menjadi sadar diri bahwa kekuasaan politik dengan model apapun itu. Dari demokrasi sampai theokrasi tetap harus memberikan porsi secara proporsional terhadap kaum yang sebenarnya tidak 'lemah' ini. Tidak hanya karena jumlahnya yang lebih banyak dari laki-laki. Melainkan karena perempuan sebenarnya makhluk yang sangat sulit untuk diterjemahkan oleh kekuasaan laki-laki.

Saya jadi teringat apa yang disampaikan Cak Nun (Emha Ainunnajib) dalam sebuah pengajian yang digelar beberapa tahun lalu di sebuah kampus di Semarang. Dia mengungkapkan dengan gayanya yang nyeleneh tentang konsep imam dalam shalat. Ditanyakannya pada semua yang hadir, "Kenapa perempuan selalu ditempatkan di shaf belakang setelah shaf terakhir laki-laki?"

Beberapa dari yang hadir menjawab, "Ya karena itu aturannya."

Cak Nun hanya tertawa mendengar itu. Dikatakannya, "Kalau itu karena sebuah aturan, habis perkara. Kajian akan selalu terhenti di situ dan tidak akan dapat mewacanakan konsepsi kekuasaan yang sesungguhnya. Nah, saya tanya lagi. Kenapa ada aturan semacam itu?"

Yang hadir hanya bengong.

"Ya karena perempuan makhluk terindah. Saking indahnya, perempuan selalu memunculkan multitafsir atasnya. Coba kalau perempuan ditempatkan di depan makmum laki-laki? Pasti akan memunculkan banyak pikiran dalam otak laki-laki. Bahkan, tidak menutup kemungkinan jamaah shalatpun akan bubar. Untuk itu, perempuan ditempatkan di belakang. Dan satu hal, karena makhluk terindah maka mereka ini harus dijaga. Bukan dimanfaatkan." pesannya.

Salam,
Robert Dahlan

Komentar