Hak Angket; Tiket VIP Bagi Pemkot Semarang dalam Sidang

Sebuah bingkai lukisan yang tertempel pada dinding ruang kelas nampak kusam. Lukisan yang terpajang pun menampakkan wajah sendu. Kedua matanya redup dan seolah tak lagi punya daya untuk mendongakkan dagunya. Wajah yang tak lain adalah wajah Ki Hajar Dewantara itu sama sekali tak menunjukkan keceriaan. Sebab, sebuah pusara yang ia gunakan untuk mengubur luka lama dengan bertuliskan mantra ‘ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handhayani’ tercerabut dari akarnya. Luka lama kini menebarkan aroma busuk dan nyaris membunuh rakyat. Ia yang dijadikan simbol, kini harus dilukai oleh ulah kekuasaan yang tamak. Pengorbanannya nampaknya harus dilukai dengan tetesan air mata yang terkontaminasi racun mematikan yang dinamakan kebijakan. Kebijakan yang telah memincangkan dan membuat cacat maklumat pendidikan oleh sebab kekuasaan yang telah melupakan dirinya sebagai perwujudan dari keinginan masyarakat. Kekuasaan yang telah mendurhakai titahnya sendiri sebagai pengejawantahan amanat rakyat.

Bagaimana tidak, pendidikan yang dulu disemangati sebagai upaya pengentasan kebodohan masyarakat kini harus berbalik sebagai upaya pembodohan masyarakat yang dinahkodai pembohongan massal. Rakyat harus membayar mahal atas kekacauan yang terjadi dalam penyelenggaraan PPD (Penerimaan Peserta Didik) 2008 kota Semarang melalui jalur khusus (Robert=sebagai penghalusan istilah jalan pintas untuk masuk sekolah-sekolah yang dibiayai oleh negara itu). Sebuah atraksi sulap yang sangat ajaib dimainkan pemerintah kota Semarang pun seakan menjadi pemandangan yang sangat menakjubkan saat itu. Legalisasi atas praktik-praktik penyuapan kepada sekolah-sekolah pun menjadi sebuah wacana publik yang sangat miris. Rakyat benar-benar dibuatnya takjub kala itu. Bahkan, saking takjubnya, mereka pun dengan bersegera memberondongi sekolah-sekolah yang notabene favorit di kota Semarang ini dengan segudang tawaran-tawaran harga yang cukup membuat siapa saja terbuai. Tak terkecuali, kepala sekolah. Atau kalau saya boleh buruk sangka, jangan-jangan juga Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang. Celakalah kalau memang begitu.

Lebih celakanya lagi, penyelenggaraan pendidikan di kota Semarang yang diharapkan akan mampu membuat masyarakat ini merasa tercukupi kebutuhan azasinya ini, ternyata justru telah menciptakan lubang besar yang cukup mampu membuat kuburan massal bagi mereka yang dimatikan oleh kekecewaan mereka. Ya, mereka ini adalah orang-orang yang tidak lagi mampu membeli tiket untuk menonton pertunjukan sulap yang dimainkan oleh aktor-aktor intelek yang biasanya duduk di belakang meja kekuasaan mereka. Kursi mereka telah habis terjual bagi kaum kaya. Kursi mereka telah diserobot oleh mereka yang memiliki mobil mewah, rumah mewah, dan segala perangkat yang punya label mewah. Alhasil, mereka harus diusir dari kandangnya sendiri. Mereka ini harus lari dan mencari kursi-kursi kelas sangat-sangat tidak VIP meskipun mereka ini sebenarnya memiliki hak. Kali ini saaya jadi semakin meyakini sebuah tulisan Eko Prasetyo yang berjudul 'Orang Miskin Dilarang Sekolah' itu benar adanya. Sebab, kenyataannya memang demikian.

Sementara pertunjukkan sulap itu belum juga usai, dengan tidak terlalu sabar beberapa kalangan dari masyarakat ini kemudian ramai-ramai mencoba menggiring pemain akrobat dan sulap ini untuk dihadapkan pada sebuah sidang. Dewan yang kemudian dijadikan rumah rujukan mereka, nampaknya kembali menghembuskan hak angket. Sebuah tiket istimewa bagi penguasa untuk dapat didudukkan di deret kursi terdepan di dalam ruang sidang dewan kota Semarang. Namun, tidak semudah itu. Pemberian kado istimewa ini nampaknya terus berjalan alot. Di dalam tubuh dewan sendiri nampak tengah terjadi pertentangan sikap antar mereka ini. Ada yang sangat setuju, ada yang sangat tidak setuju bahkan ada pula yang tidak keduanya. Beragam sikap ini tentu sedikit telah memberikan sebuah cerminan negeri ini memang benar-benar 'demokratis' dalam segala hal, termasuk untuk memberikan dukungan terhadap kepincangan ini.

Lama pula masyarakat rupanya menunggu. Hak angket nampaknya belum juga diselesaikan. Dan baru besok (Rabu, 6/8 2008) hak angket ini diberikan. Eh, salah satu pemain akrobat ini sudah keduluan bicara. Dia (Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang) justru tidak mau disalahkan. Katanya, ini salah para penjual tiket (Kepala sekolah) yang tidak becus untuk menjual tiketnya. Mandor penjual tiket pun (MKKS kota Semarang) hanya mengiyakan saja. Sebab, dia hanya penjual tiket. Bukan siapa-siapa. Mana berani melawan sang aktor yang sangat gagah berani ini. Kalau ia bilang tidak terima dengan tudingan tersebut, bisa-bisa sang aktor buru-buru keluar panggung dan segera nekoar ke masyarakat bahwa dirinya telah difitnah atau segala upaya akan dilakukan untuk mengeluarkan penjual tiket ini dari pekerjaannya.

Lantas, ketika saya temui sang penguasa dewan, saya tanyakan siapa sebenarnya yang patut dipersalahkan. Sang penguasa dewan ini dengan lantang menyeru bahwa ini bukan mutlak kesalahan aktor. Ini ada kait-mengkait dengan sutradaranya (Walikota Semarang). "Lah, iya. Ia kan hanya pemain. Lah kalau ada anak buah yang salah berarti bagaimana sutradara ini bertindak selaku sutradara?" tukasnya tanpa ba-bi-bu.

Ah, ini semakin runyam saja. Semua bergantian menyalahkan. Kalau saya akan dengan sangat tegas ini semua salah penguasa. Titik! Mereka telah lupa dengan khitohnya sebagai abdi rakyat. Tidak cukupkah mereka ini hidup dengan gaji mereka sehingga mereka-reka, mengotak-atik segala sesuatu menjadi mungkin meskipun itu bisa mereka lakukan dengan mudah? Nah, persoalannya kini sejauhmana keseriusan wakil suara masyarakat ini mampu mematahkan ketamakan penguasa ini. Yuk kita tunggu saja. Mumpung kita masih diberi waktu untuk menunggu. Bukankah kerjaan rakyat ini hanya menunggu? Dan mereka yang kita tunggu ini juga asyik dengan kerjaan mereka untuk selalu dengan sombongnya datang dan hadir dengan keterlambatan waktu dengan membawa segudang alasan karena kesibukan mereka yang sebenarnya entah apa? Kini sudah saatnya, kita menggarap PR ini seserius mungkin. Dengan sesungguh-sungguhnya. Yuk...

Salam,

Robert Dahlan

Komentar