Tujuhbelasan Momen Bangkitnya Seniman Semarang

Salam,

Entah dari mana awalnya muncul ide gila itu. Adin dengan segenap kekuatan komunitasnya Hysteria nampak antusias untuk mewacanakan kembali kebangkitan dunia seni di kota Semarang yang belakangan ini mulai dicabik oleh kekuasaan. Kali ini, mereka mencoba menerobos adab yang tengah digayuti masyarakat Semarang yang mulai kehilangan nilai estetika ini dengan mendobrak pintu-pintu yang selama ini membelenggu mereka, para seniman muda khususnya. Saya kira hal itu bukanlah hal yang istimewa bagi masyarakat Semarang, namun patut untuk dicatat dalam sejarah dunia kesenian kota Semarang yang telah lama hanya menjadi barang loakan yang hampir basi. Bahkan, entah apakah saya kali ini sedang berprasangka buruk atau bagaimana – kekuasaan telah benar-benar dengan nyata-nyata menjauhkan nilai estetika ini dari akar rumputnya yaitu masyarakat. Sehingga wajar jika kemudian kemunculan berbagai polemik mengenai politik tidak dapat dijawab dengan baik oleh pemerintahan di bawah kekuasaan Sukawi Sutarip ini. Tapi, semoga saja kali ini saya sedang berburuk sangka.

Namun dalam beberapa hal, patut dicatat pula, mandulnya dunia kreativitas masyarakat ini dalam berkesenian paling tidak telah menyodorkan di hadapan kita sebuah kenyataan bahwa perkawinan masyarakat dengan kesenian di kota yang kalau saya lihat tengah tertatih-tatih untuk mempersolek dirinya menjadi kota metropolitan ini telah gagal atau bahkan digagalkan oleh sang penghulu yang bernama kekuasaan. Bahkan, ketika saya menanyakan kepada Adin saudara saya ini tentang keterlibatan pemerintah kota Semarang dalam gelaran festival seni tujuhbelasan yang mengambil tema 17-an konsoemsi ataoe mati ini mengaku, tidak sama sekali mendapatkan dukungan dari pemerintah kota Semarang. Katanya, ketika ia harus mengurusi pengajuan proposal kegiatan tersebut, ia harus berhadapan dengan birokrasi yang sama sekali tidak jelas arahnya. Lempar-melepar bola api pun seolah menjadi pemandangan yang indah bagi mereka yang duduk dengan rapi di belakang meja kekuasaan ini. Terus terang, saya agak jengkel dengan hal tersebut. Namun kembali saya bertanya, kenapa harus marah? Toh itu tetap tidak akan dapat mengubah keadaan. Mereka, yang notabene memiliki kekuasaan ini tetap saja tidak akan mengubah sikap mereka menjadi macan lunak. Yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana menunjukkan pada dunia, bahwa eksistensi seniman di kota Semarang yang menjadi kaum terpinggir ini tetap menampakkan gaungnya. Bagaimana menunjukkan pada dunia bahwa pembonsaian seniman di kota Semarang – yang entah sengaja atau tidak dilakukan kekuasaan itu tetap menarik untuk dilihat.

Adin, mungkin salah satu dari sekian seniman atau pegiat seni di kota Semarang yang tergolong muda. Mungkin karena mudanya ia, maka wajar jika energi yang dihasilkannya pun prima. Kerja keras tentu menjadi hal yang diharuskan. Namun kalau umpama itu tetap saja tidak membuahkan hasil, mungkin kita harus pertanyakan kembali ada apa?

Apa mungkin karena kekuasaan terlalu menekan begitu besar? Atau karena generasi muda ini tidak terlalu pintar bermain di panggung politik kesenian? Atau karena ada keberanian yang tiba-tiba menumpul?

Berbicara soal keberanian, mungkin kita patut membaca sejarah lama bangsa ini yang pernah dijayakan oleh kesenian. Dalam beberapa catatan disebut, kejayaan bangsa ini sebenarya lahir dari beberapa tokoh yang sebenarnya memiliki keunikan kepribadian mereka. Mereka ini yang kemudian secara tidak langsung melibatkan diri mereka dalam gerakan politik kesenian sebagai tempat perlawanan terhadap kekuasaan. Sebut saja beberapa nama seperti WR. Supratman, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Soe Hok Gie, Hamka, Affandi dan segudang nama lainnya. Tentu, jika dibandingkan mereka ini (bukan berarti saya mendewakan mereka) kita yang masih muda ini kalah jauh dengan mereka ini. Mungkin, kita tak patut untuk bersanding di sisi mereka.

Kenapa? Haruskah dipertanyakan kenapanya? Saya kira tidak penting lagi. Kalaupun ada yang beranggapan, ini semua karena kondisi saat ini berbeda pada zaman mereka. Tentu. Sudah jelas berbeda. Namun apakah itu patut dijadikan alasan? Saya kira tidak. Sebenarnya, baik kondisi dulu maupun sekarang tetap saja sama. Kekuasaan di negeri ini masih tetap saja congkak dan tidak bisa memposisikan dirinya sebagai bagian dari umat manusia. Sehingga, pantaslah jika kekuasaan bagaimanapun itu caranya tetaplah menjadi sosok monster bagi rakyatnya. Dan kita membutuhkan kedatangan seorang Daud yang mampu menaklukan raksasa yang menakutkan itu. Daud yang memiliki seni berperang yang sungguh luar biasa. Bagaimana tidak, seorang Daud yang tinggi badannya sebanding dengan manusia-manusia biasa ini mampu menaklukkan Goliath yang bertubuh raksasa itu hanya dengan lontaran batu kecil di genggaman Daud. Dari itulah kiranya kita belajar bagaimana cara menaklukkan kekuasaan agar lebih lunak dan berhati lembut serta memiliki ruh estetik yang sebenarnya telah dimaktubkan oleh Tuhan dalam setiap firman-Nya yang mengungkapkan betapa cantiknya umat manusia yang ditempatkan di surga oleh karena mereka mau berpikir dengan jernih dan mampu mengendalikan emosinya dengan keteduhan imannya. Dan perlu dicatat, kitab-kitab Tuhan itupun adalah sebuah Maha Seni yang tak terbantahkan. Jika seseorang mampu memahami dan mendalaminya maka sesungguhnya, ia telah mampu mengejawantahkan esensi poetika dalam kehidupannya. Sehingga, kekuasaan tidak lagi kaku dan selalu berperang otot. Masyarakat sudah terlalu capai.

Terakhir saya ingin kita sama-sama mendoa, semoga kekuasaan bangsa ini tidak berpaling dari esensi estetik yang telah menjadi ketetapan Tuhan atau sunatullah dalam istilah Islam. Al fatihah untuk pemimpin kita, Al fatihah untuk bangsa ini, Al fatihah untuk kita semua. Semoga kita diampuni-Nya, amin.

Salam,

Robert Dahlan Al Sadani

Komentar