Kota Iklan Yang Tak Ramah

Salam,

Kota itu aku namai saja kota iklan. Hampir di setiap sudutnya tak ada celah ruang untuk sekadar bernafas bagi udara bebas. Selalu saja terhadang dengan adanya pemasangan iklan. Mulai dari sekadar pamflet-pamflet sampai papan baliho iklan dalam ukuran raksasa. Sungguh benar-benar sesak. Pemandangan kota dijejali gambar-gambar serta warna-warna yang terkadang dengan sengaja didesain sedemikian rupa untuk menonjok mata. Bahkan kalau perlu, agar lebih menarik papan iklan ini dihias pula dengan foto-foto artis maupun model. Tidak hanya itu, ternyata beberapa pejabat publikpun tidak mau kalah. Kurang puas dengan profesi mereka sebagai figur publik, merekapun ikut bersaing dengan foto model maupun artis untuk memampang potret mereka. Dari presiden sampai lurah pun ikut bersaing untuk memamerkan wajah ramah mereka. Mulai dari iklan layanan masyarakat sampai pada iklan politik.

Sungguh ini benar-benar sebuah pemandangan yang sangat fenomenal. Bagaimana tidak, di balik kemeriahan papan iklan yang menyemarakkan kota yang tengah bersolek diri untuk menjadi salah satu kota metropolis di kawasan Pantura Jawa ini, ternyata harus berbuah peristiwa tragis. Deraan angin kencang yang datang bersamaan guyuran hujan di awal musim penghujan telah merobohkan keangkuhan papan-papan iklan yang seolah kokoh ini. Akibatnya, salah satu patung yang menjadi salah satu ikon kota iklan ini pun harus turut roboh karena tertimpa papan iklan yang roboh ini. Jelas, hal ini juga berakibat pada hilangnya salah satu identitas kota yang berarti pula hilang pula monumen bersejarah kebanggaan warga kota iklan, yang dikenal dengan bandeng prestonya sebagai buah tangan kota ini. Patung pesepakbola yang selama ini dianggap sebagai perwujudan salah satu atlet kenamaan kota Semarang, Ribut Waidi harus tumbang pula bersama sebuah keangkuhan papan iklan raksasa itu.

Tidak cukup hanya itu, beberapa hari kemudian peristiwa nahas yang hampir serupa kembali terjadi. Kota iklan kembali diguyur hujan dan dihempas lagi oleh angin puting beliung. Salah satu papan iklan yang berada di kawasan pusat kota, Simpanglima kembali roboh. Lebih tragisnya lagi, kali ini bukan sebuah patung yang menjadi korban melainkan salah seorang warga yang sehari-harinya berprofesi sebagai penarik becak yang kemudian dikenal dengan nama Nur Tashadi, terpaksa harus dilarikan ke Rumah Sakit setempat karena tertimpa robohnya papan iklan yang ukurannya hampir sama besar menimpa patung Ribut Waidi.

Namun demikian, atas dua kejadian tersebut nampaknya beberapa kalangan justru seolah 'ogah' berpikir jauh lebih ke depan mengenai antisipasi akan pengulangan yang sama atas peristiwa tersebut. Alih-alih atas peristiwa tersebut, pemerintah kota yang dikenal dengan slogan ATLAS ini pun hanya memberikan sebuah pernyataan yang sangat normatif. Dalam berita yang dimuat Suara Merdeka edisi hari Jumat, 10 Oktober 2008 yang lalu pasca keruntuhan patung yang diidentikkan sebagai representasi Ribut Waidi ini Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman kota Semarang Ayi Yudi Mardiana menyatakan, kerusakan itu menjadi tanggung jawab penuh biro reklame yang menimpa patung tersebut. Sebab, kerusakan merupakan akibat tertimpa baliho.

Terlepas dari itu, pernyataan Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman kota Semarang ini sebenarnya sudah menjadi hal yang wajar. Sementara terkait dengan peristiwa nahas yang dialami Nur Tashadi yang mengalami gegar otak ini sudah semestinya pula mendapatkan santunan perawatan. Namun hal yang lebih penting dari itu semua ialah bagaimana upaya konkret pemerintah kota Semarang ini dalam mengantisipasi kejadian ini agar tidak terulang kembali. Hal ini tidak cukup hanya dilakukan dengan pengusutan kasus tersebut oleh pihak kepolisian melainkan pula pengkajian ulang terhadap penataan lingkungan kota yang sudah semakin ditumpuki timbunan sampah produk iklan.

Secara teoretis, seharusnya pihak-pihak terkait juga menyadari efek dari pancaroba ini. Sehingga dalam memberlakukan kebijakan dan memberikan izin terhadap pemasangan iklan di kawasan perkotaan ini diharapkan akan lebih menghormati alam sebagai representasi kehadiran kekuasaan Tuhan. Sebab, secara sadar atau tidak kawasan tropis merupakan kawasan yang sangat memungkinkan bagi kemunculan badai ketika pergantian musim.

Memang harus diakui bahwa pemasangan papan iklan ini sebagaimana selalu didengungkan oleh pihak pemerintah kota Semarang sebagai salah satu langkah untuk mempersolek diri dan mendapatkan pemasukan dari retribusi iklan yang didapat. Namun apakah memang demikian?

Kalau memang pemasangan papan iklan yang semakin hari semakin ruwet ini bertujuan untuk mempercantik kota, artinya hal ini berkait dengan makna estetika, nampaknya pemerintah kota Semarang harus kembali meninjau ulang kajian makna kata 'estetika' tersebut. Sekadar meminjam pengertian 'estetika' dari Aristoteles, makna dari kata 'estetika' itu sendiri sangat erat hubungannya dengan keindahan dan fungsinya secara konkret bagi masyarakat. Dari pengertian ini kalau ditelusur kembali, apa yang dilakukan oleh pemerintah kota Semarang ini mungkin dapat dibenarkan. Sebab, pengertian keindahan sangat bergantung pada prespektif secara individual. Artinya, keindahan memang tidak dapat ditentukan dengan model numerik atau dengan kata lain keindahan tidak dapat ditentukan secara pasti. Sebab, keindahan bukan nilai mati. Indah menurut sebagian orang, belum tentu indah pula bagi sebagian orang lain. Demikian pula dengan pemasangan papan iklan yang kini tampak menghias kota.

Selain itu, dari segi fungsinya memang seolah-olah dengan pemasangan papan-papan iklan ini memiliki fungsi dan bermanfaat bagi khalayak. Di satu sisi, akses untuk memberikan informasi secara terbuka bagi masyarakat mendapat ruang yang sangat lebar. Di lain hal, pemasangan papan iklan ini juga memberikan pemasukan bagi pemerintah kota Semarang. Untuk itu, bangsa untung rakyat pun untung (meminjam slogan yang dihembuskan Wakil Presiden Jusuf Kalla).

Namun bila kita melihat secara lebih cermat lagi, pemahaman kata estetika yang dipahami secara kasar dilakukan oleh pemerintah kota Semarang ini justru bertolak belakang dari kaidah estetika ala Aristoteles. Hal ini semacam romantisme yang sengaja dilakukan oleh pemerintah kota Semarang untuk menyembuhkan sebuah penyakit yang telah lama bersarang dan semakin menggerogoti kehidupan kota Semarang. Bagaimana tidak, pemasangan papan iklan ini hampir dapat dikatakan sebagai sebuah pengabuan masyarakat untuk menanamkan budaya konsumtif. Slogan ataupun jargon-jargon yang dihegemonikan melalui pemasangan papan iklan ini menjadi sebuah racun penawar sakit hati pemerintah kota Semarang yang tidak mampu melakukan sebuah terobosan dalam penataan kawasan kota yang semakin tak teratur ini.

Bahkan secara psikologis, dengan semakin padatnya pemasangan papan iklan ini sebenarnya tidak hanya mengganggu kenyamanan pemandangan mata melainkan berdampak pula pada kemungkinan akan semakin kerasnya karakteristik masyarakat karena frustasi. Sebab, budaya kapitalis yang secara ekstrim diejawantahkan ke dalam kehidupan kota ini semakin membuat mereka merasa tidak memiliki tempat yang layak. Masyarakat akan semakin merasa tidak memiliki lagi pencitraan kota yang mereka idamkan. Sehingga mereka mencari sebuah jawaban dari kenangan masa lalu yang kini mulai terasingkan.

Kalaulah memang demikian yang terjadi, artinya wabah kapitalis benar-benar telah melanda di kota yang dulu dijuluki Litle Nederland ini. Sebagai buktinya adalah apa yang dialami oleh patung yang entah representasi dari siapa dan apa yang menimpa Nur Tashadi. Bahkan, budaya kapitalis ini secara ekstrim juga direpresantasikan dengan pemberian kompensasi yang sebenarnya hanya menjadi pengalihan isu belaka. Namun secara tidak sadar, hal tersebut bisa juga menjadi semacam bom waktu yang pada saatnya nanti akan meledak dan bisa jadi akan meluluhlantakan seluruh budaya masyarakat yang ada. Hal ini dikarenakan penetrasi yang dialami oleh masyarakat yang mengakibatkan frustasi sosial yang disebabkan tidak terjawabnya atas tuntutan mereka untuk bereuforia dengan masa lalu yang mereka rindui. Selain itu, apakah pihak-pihak terkait ini akan mampu memberikan kompensasi yang sedemikian besar ini? Mengingat, menjadi sebuah ketidakmungkinan jika pemerintah akan melakukan sebuah rekonstruksi sejarah masa lalu sedang saat ini mereka tengah sibuk untuk menatap masa depan dan menyambut terwujudnya wajah baru kota Semarang yang lebih metropolis.

Nah, yang terpenting sekarang ini ialah bagaimana pemerintah kota Semarang mulai melakukan pengkajian ulang terhadap makna estetika itu sendiri. Apakah memang benar bahwa pemasangan papan iklan yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya itu sudah cukup mampu memberikan jawaban atas pertanyaan sudahkah cantik kota ini? Untuk itulah, perlu bagi pemerintah kota Semarang untuk semakin memperketat pemberian izin serta dibutuhkan kecermatan pula dalam menempatkan papan-papan iklan tersebut. Sehingga, diharapkan dengan adanya aturan main yang sedemikian ketat tersebut akan mampu mengembalikan pesona kota Semarang. Bukankah salah satu cita-cita kota Semarang ini ingin menjadi kota yang penuh pesona di kawasan Asia?

Salam,

Robert Dahlan

Komentar

Haris Firdaus mengatakan…
ternyata, iklan bisa menimbulkan bencana scr langsung ya! he2.