UU Pornografi Kenapa Disahkan?

Disahkannya UU Pornografi oleh DPR RI kemarin (Kamis, 30 Oktober 2008) nampaknya masih menuai polemik yang kalau saya lihat akan berlangsung lama. Hal ini sebagai imbas atas protes yang dilayangkan oleh sejumlah daerah yang merasa tergugat karena tradisi dan nilai-nilai budaya mereka justru tidak terlindungi dengan adanya UU Pornografi tersebut. Namun demikian, DPR RI sepertinya sudah keras kepala dan buru-buru untuk melakukan pengesahan UUP yang oleh kebanyakan orang dinilai belum cukup matang. Bahkan, sebagaimana dikatakan salah seorang seniman asal kota Yogyakarta, Djaduk Ferianto, untuk mengesahkan UU tersebut seharusnya DPR RI mempertimbangkan masak-masak. Terlebih terkait dengan studi akademisnya yang dinilai belum dilakukan secara komprehensif. UU tersebut belum mampu menyentuh pada persoalan-persoalan yang sensitif, terutama terkait dampak dari pemberlakuan UU Pornografi ini terhadap masalah-masalah budaya.

Sejak awal pembahasan RUU Pornografi inipun sebenarnya sudah nampak betul adanya gejala penolakan. Ini tentunya merupakan sebuah gejala yang seharusnya mampu dibaca oleh semua lapisan masyarakat, bahwa isu mengenai UU Pornografi ini sebenarnya isu politik. Namun pada kenyataannya, dengan segenap kelihaian otak yang dikoordinasikan dengan mulut para politikus, isu ini kemudian dibelokkan dengan memberinya label sebagai isu pembenahan moral bangsa. Lantas dengan mudah politikus ini kemudian lancar melenggang untuk menjebol dinding rapuh yang dibangun di antara suara-suara sumbang sebagian rakyat Indonesia. Sebagai akibatnya, muncul pula gugatan-gugatan yang mempertanyakan kinerja anggota Dewan yang terhormat ini. Karena sebelum RUU Pornografi ini kemudian di-Undang-kan, sejumlah anggota Dewan yang dipilih oleh rakyatnya sendiri ini terseret arus tren korupsi dan tindakan cabul mereka yang entah sengaja atau tidak telah membuat rakyat merasa tertipu. Demokrasi pun tergugat karenanya. Rakyat semakin tidak mempercayai lembaga tinggi yang seharusnya menjadi corong keinginan seluruh rakyat Indonesia, bukan sebagian rakyat Indonesia.

Saya melihat adanya sebuah intrik politik yang entah secara sengaja atau tidak telah dimainkan oleh kelompok-kelompok politik tertentu. Sebab, dalam pandangan saya pengesahan UU Pornografi ini tergolong sangat singkat. Sementara untuk RUU lainnya yang saat ini masih menjadi PR dari lembaga tinggi ini, juga masih banyak. Dan terkesan sengaja ditinggalkan.

Tidak hanya itu, keseriusan DPR RI untuk melakukan sebuah telaah mengenai UU Pornografi ini pun seolah sengaja ditiadakan. Padahal kalau kita menilik kembali pada pembahasan RUU Anti Korupsi, DPR RI nampak getol untuk mengotak-atik persoalan korupsi ini. Sepertinya mereka ini justru sengaja menutupi kasus-kasus korupsi yang tengah dijadikan proyekan oleh mereka yang dimuliakan oleh pangkat.

Selain itu, yang paling lucu lagi. Munculnya UU Pornografi ini justru dalam waktu yang hampir mendekati Pemilu 2009. Dalam hal ini, saya mencermati adanya sebuah upaya politik yang sengaja untuk menutupi isu yang sebenarnya krusial. Yaitu keterwakilan perempuan di dalam pencalegan. Sebab, di dalam Undang-undang politik telah diatur mengenai porsi caleg perempuan yang paling tidak harus dapat memenuhi kuota sebesar 30%. Tapi kenyataannya, tidak banyak partai politik yang menaati aturan tersebut. Anehnya lagi, isu ini tidak begitu menggigit bagi rakyat yang terlalu sering ditipu. Sehingga perjuangan untuk menyetarakan kedudukan perempuan dalam ranah politik pun kembali harus menempuh jalan yang sangat panjang.

Lalu, apa sebenarnya yang tengah terjadi di negeri ini?

Salam,
Robert Dahlan

Komentar