Rusak Sekolah Kami Semoga Tidak Merusak Moral Pemimpin Kami

Habis manis, sepah dibuang. Begitulah kira-kira gambaran yang mungkin paling tepat untuk menggambarkan sebuah tragedi nasib perjalanan dunia pendidikan yang berkembang di negara Indonesia akhir-akhir ini. Kalau dulu, dunia pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian bangsa, mencerdaskan serta memberikan pencerahan dalam pengembangan pengetahuan, namun kini nasib dunia pendidikan tidak ubahnya dengan perca kain kumal yang kemudian dijadikan sebuah sarana lap pel lantai rumah yang terbuat dari keramik mewah. Bagaimana tidak, setelah kehadirannya yang begitu diharapkan oleh banyak orang, kini di tengah-tengah kepandaian orang-orang untuk dapat memikirkan tentang nasibnya sendiri, dunia pendidikan lambat laun hanya menjadi sebuah potret tragis yang hanya laku dipameran foto jurnalistik dengan menampilkan kepiluan-kepiluan yang teramat mendalam. Ini bukan sebuah kisah yang kemudian dibukukan dalam sebuah novel yang kemudian dikenal dengan judul Laskar Pelangi. Tapi inilah realistas yang saat ini juga terjadi di kota Semarang yang notabene tengah berdandan diri untuk mengubah penampilannya menjadi kota metropolitan.

Di tengah-tengah kemegahan kota yang semakin hari semakin diramaikan dengan kedatangan gedung-gedung baru, sebuah gedung sekolah di kawasan pinggiran kota, tepatnya di kecamatan Gunungpati, lebih tepat lagi di kelurahan Kandri, terkorbankan. Gedung sekolah yang selama ini menjadi tempat menimba pengetahuan dan membentuk budaya masyarakat sekitar terbiarkan rusak tanpa daya. SD Negeri Cepoko 3, mungkin menjadi salah satu saksi bisu mengenai perubahan zaman hingga melapuklah sudah seluruh bangunannya.

Sudah barang tentu kerusakan tersebut sangat tidak menyamankan bagi murid-murid yang belajar di sana. Namun apalah daya, jika kemudian nasib memang harus berkata demikian. Segala upaya telah dilakukan bahkan dengan mengumpulkan dana swadaya masyarakat, perbaikan gedungpun dikerjakan dengan seadanya.

"Dulu, semua kelas rusak. Tapi setelah ada swadaya masyarakat, perbaikan dilakukan di tiga ruang kelas yaitu kelas 4, 5 dan 6. Sekarang yang belum diperbaiki masih tiga kelas juga. Termasuk WC ini juga sudah rusak." ungkap Gigih Maruto, Bendahara BOS SD Negeri Cepoko 3.

Sungguh tragis memang. Lebih-lebih bila ini dikaitkan pula dengan janji Pemerintah kota Semarang yang dulu sangat gemar mengkampanyekan agar dapat mewujudkan pendidikan gratis bagi warganya. Semula, memang tanggapan warga sangat bervariasi. Ada yang menyambut dengan senang hati. Ada juga yang menanggapinya dengan penuh tanda tanya besar.

Namun setidaknya SD Negeri Cepoko 3 cukup memberi gambaran bagi warga kota yang kini tengah melenggang dengan elok dengan sejuta pesona yang ia tebar ke seluruh penjuru Asia raya ini, bahwa tidak segampang itu untuk mewujudkan mimpi. Mungkin mudah untuk merangkainya namun untuk membungkusnya dalam sebuah realita?

"Kami sudah pernah mengajukan proposal permohonan dana untuk perbaikan. Nilainya kurang lebih 150 juta rupiah. Tapi katanya yang akan turun baru 75 Juta rupiah. Sampai sekarang belum turun juga. Padahal SD kami ini termasuk prioritas. Tapi yang dapat kok malah yang di Banyumanik. Memang sulit bagi kami untuk penuhi kuota jumlah siswa sebesar 100 siswa. Ya, karena kondisi rusak parah seperti ini mana ada yang mau sekolah?" ujar Gigih yang tetap gigih untuk terus berjuang.

Kegigihan Pak Gigih ini cukup beralasan karena bagaimanapun juga gedung sekolah tetap gedung sekolah. Ia menjadi tempat bagi calon-calon pemimpin masa depan. Laskar terdepan yang akan mengubah dunia sesuai apa yang mereka inginkan. Tinggal memilih, mau lebih baik atau justru sebaliknya. Semua tentu ada konsekuensinya.

Komentar