Lahan Tambak Jadi Area Parkir Pesawat

Kota Semarang yang merupakan kota pesisir, tentu tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan usaha tambak. Bahkan beberapa bulan yang lalu ketika saya sempat menemui salah seorang pemilik tambak di kawasan Muktiharjo kecamatan Mangkang, dia menyebutkan, usaha tambak di kota Semarang pernah mengalami masa keemasan. “Dulu yang namanya usaha tambak itu bisa buat modal untuk naik haji. Bahkan suatu ketika, satu kampung ini bisa naik haji semua bareng-bareng. Ya karena usaha tambak itu,” katanya.

Mungkin itu hanya sekelumit tentang usaha tambak di Semarang. Yang dulu pernah jaya bahkan mungkin dapat dikatakan telah mencetak jutawan-jutawan yang tangguh. Namun, seiring perubahan zaman, usaha ini lambat laun menyusut hingga tak jelas bentuknya. Sebab alam nampaknya enggan untuk menjadi sahabat bagi petani tambak ini. Abrasi kawasan garis pantai yang semakin parah, sulit terhindarkan. Air rob telah membenamkan semua. Peras keringat mereka pun tinggal menjadi sebuah kenangan.

Namun demikian, usaha tambak ini sebenarnya masih tetap menjadi primadona bagi masyarakat Semarang. Bahkan sampai saat inipun jenis usaha ini tetap langgeng. Paling tidak, di tengah-tengah masa sulit, kegiatan ekonomi ini tetap berjalan sebagaimana mestinya meski harus berhadapan dengan tantangan alam yang semakin nyata.

Namun di balik itu semua, tantangan lain kemudian menghantui pula kelanggengan hidup usaha tambak ini. Dengan dalih sebagai usaha pengembangan potensi ekonomi Jawa Tengah, kemudian Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memiliki niatan untuk menyulap sebagian lahan tambak di kawasan Tawang Mas Semarang untuk dijadikan area parkir pesawat. Sejak tahun 2004 yang lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memiliki sebuah obsesi besar terhadap pengembangan bandar udara Ahmad Yani yang kini telah menjadi bandara internasional. Hal ini disebabkan adanya peningkatan jumlah penerbangan dan penumpang dari tahun 2001 sampai dengan 2006 yang memiliki nilai rata-rata pertahun sebesar 8%. Untuk alasan itulah, pengembangan harus dilakukan sebab kondisi bandara saat ini sangat tidak mungkin akan dapat menampung tuntutan perkembangan zaman. Alhasil, perluasan pun dimulai. 93 hektar lahan tambak harus dikorbankan.

Di satu sisi, memang rencana tersebut cukup memberikan manfaat bagi perekonomian Jawa Tengah. Namun di sisi lain, rencana ini justru menuai polemik yang cukup rumit mengingat hal tersebut juga akan mengakibatkan puluhan petani tambak akan kehilangan pekerjaan dan tentunya akan kehilangan mata pencaharian mereka pula.

“Untuk pembebasan lahan ini sebenarnya dari pemerintah sudah menyiapkan dana tali asih yang akan diberikan kepada 59 orang pengelola tambak. Kenapa tali asih dan bukan ganti rugi lahan? Sebab tanah yang mereka tempati sebagai lahan tambak merupakan milik TNI AD.” Kata Abdul Majid, Wakil ketua Panitia Pengadaan Tanah.

Hingga saat ini, mungkin puluhan petani tambak ini masih bergelut dengan segenap kegelisahan mereka mengenai masa depan mereka. Paling tidak, mereka akan selalu bertanya apa yang dapat mereka kerjakan esok ketika rencana besar itu benar-benar menjadi sebuah kenyataan pahit bagi mereka. Kegelisahan ini tersirat dari apa yang diungkapkan Abdul Majid. Dia mengatakan, “Dari 59 orang ini baru 10 orang yang sudah menerima dana tali asih. Dan perlu diketahui, dana tali asih ini cukup besar jumlahnya. Sebab, untuk penerima paling rendah itu mencapai 20 juta rupiah. Sedang penerima tertinggi mencapai 150 juta.”

Memang jika dilihat dari jumlahnya, cukup menggiurkan. Namun, jaminan kelangsungan hidup mungkin tak akan dapat terbayar. Kesangsian 49 petani tambak ini nampaknya cukup beralasan. Di zaman serba susah, uang sebesar apapun tak akan mampu menjawab persoalan-persoalan ekonomi mereka. Sebab, kalaupun harus beralih pekerjaan, mungkin lahannya semakin sempit.

“Nah, uang tali asih itu memang kalau dilihat besaran per meter persegi kelihatannya kecil. Cuma empat ribu rupiah. Namun, sebenarnya dua ribu itu untuk ganti lahan, sedang dua ribu lainnya untuk alih profesi.” Kata Abdul Majid.

“Sebenarnya kenapa mereka, yang 49 orang ini belum mau terima?” tanya Anhar.

“Ya, kami akan terus mengupayakan agar mereka mau menerima. Kami akan terus sosialisasikan itu.” Jawab Abdul Majid.

Hari tiba-tiba menyerobot dan bertanya, “Pak, sebenarnya kapan pertama kali mereka menerima pembayaran itu?”

“Oh itu sudah lama, Mas. Pembayaran uang tali asih ini sudah kami lakukan sejak tahun 2006 lalu.”

Itu artinya sudah hampir 3 tahun proses ini berjalan. Pembebasan lahan tambak yang menjadi tumpuan hidup warga masih juga terbengkalai. Padahal, tanggal 15 Desember 2008 nanti, semua harus segera beres.

“Jika mereka tetap ngeyel, pembayaran akan kami lakukan di meja pengadilan.” Ungkap Abdul Majid.

Komentar