Pemkot Semarang Mulai Batasi Pengembangan Kawasan Atas

Kota Semarang nampaknya tidak mau kalah dengan kota-kota besar lainnya di Jawa. Semakin hari hampir dapat dikatakan semakin padat. Dari data tahun 2006 jumlah penduduknya menurut BPS 1.434.025 jiwa, dengan komposisi 711.761 penduduk laki-laki dan 722.264 penduduk perempuan. Sementara luas kawasan 374 Km persegi. Dengan demikian, kepadatan rata-rata penduduk di kota yang terkenal dengan kota penghasil Lunpia ini diperkirakan mencapai 3.834,3 jiwa per Km persegi. Namun demikian, pada kenyataannya persebaran penduduk di kota ini tidak serta-merta merata. Hal ini sebagaimana saya kutip situs resmi Pemrintah kota Semarang menyebutkan kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Semarang Selatan sebesar 14.470 orang per km2, sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Mijen sebesar 786 orang per km2.

Menganut teori medan magnet, ketidakmerataan ini tentunya sangat erat kaitannya dengan daya tarik kawasan yang sangat subur bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Wilayah kecamatan Semarang Selatan ini kini mulai dijamuri dengan ragam pemandangan yang sangat metropolis. Tentunya hal ini akan semakin membuat semut-semut kecil ingin pula mencicipi manisnya gula-gula perkotaan yang sebenarnya semu.

Sejak pengembangan kota Semarang, wilayah kecamatan ini merupakan kecamatan yang sungguh mendapatkan prioritas. Sebab, selain memiliki tingkat kelandaian yang cukup memadahi, kawasan ini memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi. Di samping itu, keberadaan perkantoran instansi-instansi pemerintahan provinsi Jawa Tengah, mau tidak mau ikut memberi stimulan terhadap pengembangan kawasan tersebut. Tak pelak lagi, jika kemudian semakin hari pertumbuhan ini akan semakin mendekati titik jenuh.

Di lain hal, daya tarik kota besar ini selain membawa berkah ternyata juga membawa bencana bagi warganya. Bagaimana tidak, saat ini dengan tingkat kepadatan ini muncul kemudian pemukiman-pemukiman liar yang semestinya tidak hadir sebagai pelengkap penderitaan kota. Alhasil, puluhan tahun pemukiman ini muncul, puluhan tahun pula ia semakin mengakar kuat sehingga sulit untuk melakukan sebuah terobosan baru bagi Pemerintah kota Semarang untuk mengupayakan penataan kawasan yang nyaman. Tidak hanya nyaman bagi si empunya kelebihan duit, melainkan untuk semua warga kota yang tengah berdandan menjadi kota metropolitan ini.

Sementara, kebutuhan perumahan yang kian sempit di kawasan perkotaan, pengembangpun mulai melirik magnet lain yang akan dijadikan penawaran atau solusi bagi pemilik kelebihan duit ini untuk dapat menikmati pemukiman di atas bukit. Dan berjamuranlah perumahan-perumahan baru di kawasan bukit-bukit yang indah itu. Hingga pada akhirnya sulit untuk dikontrol.

Kini, mungkin tidak mau dikatakan terlambat, Pemerintah kota Semarang mulai melakukan perencanaan penataan ulang tata ruang yang kadung amburadul tersebut. Dengan tergopoh-gopoh, Pemerintah kota Semarang kini mulai mewacanakan untuk mulai membatasi pengembangan kawasan pemukiman. "Ini sebuah solusi bagi penataan lingkungan yang saya kira perlu untuk dilakukan segera oleh Pemerintah kota Semarang. Sebab, jika tidak, akan banyak lahan yang semestinya menjadi kawasan Ruang Terbuka Hijau di kota Semarang ini akan hilang dan semakin tergerus." kata Afrianto Sofyan konsultan Program RP4D.

"Sebenarnya Pemerintah kota seharusnya lebih tegas dalam membatasi perkembangan kawasan pemukiman ini. Terutama di kawasan-kawasan yang rawan longsor, di sekitar rel kereta api, dan yang menempati tanah-tanah negara yang semestinya menjadi kawasan RTH. Namun untuk menertibkan itu semua, dibutuhkan waktu yang tidak sedikit. Pemerintah harus mulai merancang strategi yang tepat dan ini membutuhkan keterlibatan semua pihak. Termasuk masyarakat. Sehingga di kemudian hari tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan." lanjutnya.

Perlu diketahui pula bahwa selama ini, kota Semarang selain dihadapkan pada persoalan banjir, ternyata juga dihadapkan pada masalah ancaman tanah longsor yang kerap terjadi di kawasan atas. Hal ini dikarenakan semakin kerdilnya kawasan-kawasan RTH yang dimiliki kota Semarang sebagai pengaman terhadap bahaya ancaman tersebut. "Sudah saatnya pembangunan perumahan di kawasan atas ini mulai dibatasi. Bahkan menurut saya, dalam sepuluh tahun kedepan, pengembangan pemukiman bagi masyarakat ini untuk kawasan bawah harus dikembangkan secara vertikal. Dengan membangun Rumah Susun atau apartemen. Namun kembali lagi ini dikembalikan pada kemampuan ekonomi masyarakat." ujar Sofyan.

Kendati demikian, upaya tersebut mungkin dibutuhkan waktu yang tidak sedikit. Mengingat, sejauh ini, dari segi bisnis sendiri, hal tersebut apakah memang benar-benar memiliki potensi besar bagi pengembang? Sementara saat ini, pengembang lebih tertarik untuk bermain bisnis untuk menjual potensi keunikan alam yang dimiliki kota Semarang ini melalui pengembangan kawasan perbukitan. "Semestinya Pemerintah kota juga lebih tegas dalam menerapkan pembatasan pengembangan kawasan atas. Kalau perlu ditegaskan melalui Perda atau paling tidak Perwal. Sebab, saat ini pengembangan kawasan atas ini sudah semakin padat. Terutama di sejumlah kawasan seperti Banyumanik dan Tembalang." kata Sofyan.

Memang, semakin besar pertumbuhan kota, semakin besar pula risiko yang akan ia tanggung. Maka tidak heran jika kemudian masalah ini menjadi masalah yang cukup serius bagi penyelenggara pemerintahan ini. "Kami sepenuhnya mendukung rencana Pemerintah kota Semarang yang akan memberlakukan aturan main tata ruang. Bahkan kami sejak awal telah terlibat dalam perbincangan mengenai ancangan aturan tersebut." ungkap Sujadi Ketua DPD REI Jawa Tengah.

Namun demikian, dukungan tersebut nampaknya belum sepenuhnya 100% ditunjukkan REI. Dalam hal ini, Sujadi mengungkapkan, "Sebenarnya kami agak keberatan dengan persyaratan bagi pengembang yang hanya dibolehkan membangun 20% dari seluruh luasan area lahan untuk rumah. Misal dengan luas area 100 m2, yang hanya dibolehkan dibangun hanya 20% saja. Kami minta ya paling tidak 30%-lah. Sebab, kalau itu benar-benar diberlakukan, maka harga rumah akan semakin mahal. Otomatis tidak ada peminatnya."

Komentar