Samodra Itu Bernama Pekalongan

Medio Januari 2009, sebuah perjalanan yang mungkin cukup melelahkan bagi warga kota Pekalongan. Seusai mereka tenggelam dalam ingar-bingar pesta kembang api menyambut pergantian tahun, kini giliran mereka terpaksa harus mengapung di antara genangan banjir yang mengepung seisi kampung mereka.

Ini seperti pekerjaan yang tidak pernah usai. Setelah berpesta warga pun harus mencuci semua piringnya. Guyuran hujan dalam beberapa hari, seakan telah benar-benar menyapu keriangan tahun baru yang semula disambut dengan segenap harapan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Banjir, telah benar-benar memupus kembali segala harapan mereka. Peristiwa nahas inipun telah membuat ribuan rumah di 21 kelurahan di 4 kecamatan, bagaikan mengapung di atas samudra.

Tentunya, masalah klasik ini telah mengimbas pada persoalan-persoalan lain. Masalah sosial dan masalah ekonomi.

Di kelurahan Tirto misalnya, sejumlah warga terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal mereka. Bahkan mau tidak mau, banjir telah memaksa mereka untuk mengungsi di mushola. Seperti yang diungkapkan Rubiyati.

“Saya sudah menginap di Mushola sejak semalam. Namun barang-barang tidak saya bawa. Saya tinggal dan saya tumpuk di rumah. Saya juga belum berani pulang ke rumah. Nunggu banjir reda,” kata Rubiyati

Di lain pihak, banjir juga telah membuat aktifitas belajar mengajar di sejumlah sekolah terganggu. Sejumlah ruang kelas yang dijadikan sebagai wahana pengetahuan generasi penerus bangsa ini, juga terendam banjir. Kondisi ini telah memaksa pihak sekolah memulangkan siswanya lebih awal. Seperti halnya yang dialami SMA Negeri 2 Pekalongan. Kepala TU SMA Negeri 2 Pekalongan Purnomo menuturkan, hujan lebat yang turun dalam beberapa hari telah menggenang sejumlah ruang kelas.

"Dengan situasi hujan sejak semalam yang terus menerus itu telah membuat sejumlah ruang kelas tergenang. Ada enam kelas. Sehingga siswanya terpaksa kami suruh untuk belajar di rumah. Untuk kelas yang tidak tergenang kegiatan berjalan normal. Hanya bagian-bagian tertentu seperti akses jalan ke Perpustakaan harus dilalui dengan menggunakan kursi-kursi kelas,” ungkap Purnomo.

Kondisi serupa juga terjadi pada salah satu Madrasah Ibtidaiyah di kawasan Panjang wetan. Bahkan dengan tingginya genangan air ini, sebagaimana diungkapkan Darsono salah seorang pengajar di Madrasah tersebut, pihak sekolah mau tidak mau harus meliburkan siswanya.

“Ya kalau kondisi seperti ini siswa terpaksa libur. Sebenarnya kami sudah mengajukan untuk meminta peninggian sekolah, namun saat ini belum ada respon dari instansi terkait,” kata Darsono.

Selain mengganggu aktivitas masyarakat, banjir juga telah mengakibatkan warga sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Juariyah misalnya, korban banjir di kelurahan Panjang Wetan ini mengaku dalam beberapa hari tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya untuk mengganjal perut yang terkadung lapar.

“Saya sudah dua hari tidak makan. Tidak bisa tidur. Kasihan ini anak saya,” keluhnya.

Di sisi lain, dampak ekonomi masalah klasik ini juga cukup dirasakan oleh puluhan pengrajin Batik di kelurahan Pabean. Menurut Maulana seorang perajin batik di Pabean, mereka terpaksa harus menghentikan produksinya ratusan buruhpun harus diliburkan.

“Ya kalau hujan seperti ini, ya prei total. Karyawan juga libur semua. Kalau dibilang rugi ya rugi. Sebab, dengan kondisi ini, kerugian bisa mencapai Rp 1 juta lebih per hari,” kata Maulana.

Lebih parah lagi banjir yang melanda kota Batik ini, juga telah mengakibatkan ratusan hektar sawah terendam banjir. Ahmad seorang petani di kelurahan Pabean mengaku, akibat banjir ini padi yang ia semai ini terancam gagal panen.

“Kalau terus-terusan tergenang ini padi bisa mati. Jadi, bisa gagal panen,” ungkapnya.

Apapun alasannya, menuding alam sebagai faktor penyebab banjir tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, dapat dikatakan itu sama halnya dengan membuka borok pada diri sendiri. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana upaya pemerintah kota pekalongan untuk menangani korban bencana banjir ini. Sebab, bila dibiarkan tentu kekhawatiran akan menjangkitnya penyakit-penyakit menular di masyarakat bukan tidak mungkin lagi akan menjadi sebuah wabah yang mengerikan. Untuk alasan itulah upaya persiapan penyediaan obat-obatan menjadi sangat penting. Seperti yang dijelaskan kepala dinas kesehatan pekalongan Dwi heri Wibawa.

“Kami sudah siapkan obat-obatan baik itu salep gatal-gatal maupun obat-obatan lainnya. Sebab, kalau banjir seperti ini, biasanya keluhan warga ini akan berkutat pada penyakit kulit dan yang paling banyak itu biasanya ISPA. Jadi, kami berharap warga agar terap waspada.”

Namun demikian, upaya ini nampaknya tidak cukup. Pemerintah kota Pekalongan juga masih memerlukan sebuah langkah konkret dalam menanggulangi masalah banjir ini. Agar tidak menjadi sebuah bencana yang teragendakan. Alasan inilah yang membuat wakil walikota pekalongan Abu Almafahir, memandang perlu bagi pemerintah kota Pekalongan untuk menata ulang kawasan drainase.

“Ya memang harus diakui pengaturan masalah drainase ini masih belum sempurna. Makanya saya sangat berharap dan memiliki keinginan untuk melakukan perbaikan. Berapapun anggarannya, saya kira Pemerintah kota Pekalongan harus siap.”

Banjir bagaimanapun juga telah membuat kita prihatin. Namun bukan berarti kita harus berhenti untuk melakukan upaya penanggulangan masalah ini. Pemerintah harus tetap tanggap sementara masyarakat juga tidak harus memangku tangan mereka. Sebab, apakah kita tidak akan malu terhadap anak cucu kita kelak yang mungkin tidak akan memiliki tempat tinggal lantaran ditenggelamkan oleh banjir.

Ribut Achwandi_Radio Kota Batik_Suara Masyarakat Pekalongan

Komentar