Celotehku Dalam Sangkar

Salam,

Baru satu bulan saya pulang kembali ke kampung halaman. Rupanya Pekalongan banyak yang berubah. Selain pejabat struktur di tingkat Pemkot Pekalongan, kondisi dan situasinya pun sangat berbeda dengan 9 tahun lalu, ketika saya meninggalkan kota ini. Banyak bangunan baru yang sebelumnya tidak pernah saya kenal bermunculan. Banyak pula persoalan yang diam-diam juga semakin mencuat. Kasus buku seronok, kasus video porno pelajar, kasus-kasus lain yang mewarnai kota Pekalongan yang kaya akan motif batik pesisirannya ini.

Semula saya memandang kota Pekalongan ini terlalu kecil. Memang kalau dilihat dari luas kawasannya, kota Pekalongan tidak terlalu besar. Namun, ketika saya amati lebih mendalam tentang dinamika hidup di kota yang dulu pernah jaya di laut ini, ternyata begitu luar biasa ruwetnya. Hampir bisa dikatakan lebih ruwet dari kota-kota besar yang pernah saya singgahi dan saya tinggali.

Saya bukan seorang penjelajah yang tangguh. Tapi bagaimanapun juga, saya pernah melakukan pembidikan terhadap masalah-masalah yang ada di kota-kota lain. Karakteristik kota Pekalongan ini cukup unik. Keunikan ini terdapat pada beberapa hal di antaranya;

  1. Pemerintahan yang adem ayem
  2. Rendahnya kepedulian masyarakat terhadap perubahan
  3. Kondisi sosial yang begitu nyaman namun membahayakan
  4. Kondisi politik yang sangat kondusif namun mandul
  5. Perekonomian yang hanya dimiliki 'juragan'
  6. Situasi dunia pendidikan yang begitu statis
  7. Minimnya kalangan akademisi
  8. Situasi yang sedikit bicara, sedikit bekerja
  9. Kemandulan penciptaan citra kebudayaan kota Pekalongan

Selanjutnya, akan saya kupas satu per satu tentang beberapa poin tersebut:

Pemerintahan yang adem Ayem

Sinergia antara pemerintah dan masyarakat di kota Batik ini, nampaknya tidak mencapai pada chemistri level atas. Pasalnya, ada semacam keengganan dari masyarakat untuk lebih peduli terhadap pemberlakuan sistem pemerintahan yang ada. Entah disengaja atau tidak, saya mencermati ada jarak yang begitu jauh antara pemerintah dengan masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat dengan frekuensi diskusi antara pejabat publik dengan masyarakatnya.

Dalam hal ini, frekuensi ini bisa dikatakan jarang dilakukan. Hal ini yang kemudian membuat pemerintahan kota Pekalongan nampaknya sedikit dapat bekerja dengan 'semampu'-nya saja. Sesuai dengan pepatah yang dianut masyarakat kota Batik ini 'kerja kok ngoyo temen'.

Rendahnya kepedulian masyarakat terhadap perubahan

Sulit ketika saya berbicara dengan sebagian masyarakat kota ini tentang perubahan. Mereka kadung meyakini bahwa apa yang mereka terima adalah sesuatu yang wajar. Lumpuhnya budaya diskusi, baik dari kalangan eksekutif maupun intelektual muda (akademisi) nampaknya tidak muncul di kota yang cukup padat penduduk ini. Mereka lebih cenderung menilai, pembahasan mengenai perubahan adalah mimpi. Dan mimpi itu tidak berkah. Sebab, manajemen sosial yang dianut warga kota yang unik ini adalah 'manajemen berkah'.

Kondisi sosial yang nyaman namun sebenarnya berbahaya

Tidak setiap kenyamanan akan benar-benar menjadi nyaman bagi pelakunya. Kenyamanan terkadang menjadi sesuatu yang sangat membahayakan bagi pelakunya. Sebab, ketika lengah tentunya si pelaku yang nyaman akan dapat terjerumus ke dalam sebuah lingkaran yang sama-sama tidak diinginkan.

Nah, inilah yang terjadi di kota kelahiranku. Sulit untuk diajak berpikir kritis. Masyarakat terkadung asyik dengan kenyamanan mereka. Padahal, banyak masalah yang sebenarnya dapat membuat tumbangnya popularitas kota yang menjadi penghasil batik ini.

Situasi politik yang sangat kondusif namun 'mandul'

Kemandulan ini diciptakan dengan adanya ketidakmampuan pelaku sistem politik di kota ini yang tidak mampu mewacanakan hal-hal baru kepada masyarakat. Mereka hanya mampu menerjemahkan persoalan-persoalan dasar yang seharusnya sudah selesai digarap sebelum kota ini berdiri. Namun mereka yang kini menjabat sebagai legislator maupun eksekutif nampaknya terlena untuk melakukan trik-trik politik mereka saja.

Perekonomian yang hanya dimiliki 'juragan'

Buruh adalah budak. Budak adalah modal. Modal adalah permainan bagi 'juragan'. Bukan sebagai katalisator pergerakan ekonomi. Akhirnya, buruh hanya menjadi sebuah mainan bagi 'juragan'. Itulah yang terhadi di kota Pekalongan. Kapitalis kecil telah menjangkiti kota ini. Kapitalis yang sangat membuat jengah dalam otak saya.

Situasi dunia pendidikan yang begitu statis

Tidak ada perubahan mendasar dalam dunia pendidikan kota Pekalongan. Sebab, keinginan masyarakat untuk mendidik anaknya masih terlalu rendah. Mereka lebih memilih untuk tidak membuang uang mereka hanya untuk menyekolahkan anak mereka. Mereka lebih memilih untuk menentukan nasib anak mereka dengan mempekerjakan anak mereka tanpa bekal yang cukup. Itulah potret kelam kota Pekalongan.

Minimnya kalangan akademisi

Jangan pernah bertanya kepada saya, ada berapa pakar-pakar di kota Pekalongan? Sebab, jawabannya akan sangat memalukan bagi saya. Sedikit. Kalaupun ada, bagaimana dengan kompetensi mereka? Nampaknya masih patut untuk dipertanyakan.

Sedikit bicara, sedikit bekerja

Bicara itu mudah, bekerja itu bikin susah. Makanya biasakanlah untuk mengurangi keduanya di kota ini. Sebab, tidak ada ruang forum yang dapat dimanfaatkan untuk saling bicara. Selain itu, bekerja itu upahnya juga sedikit. Maka bekerjalah dengan seadanya. Itulah prinsip yang dianut masyarakat Pekalongan.

Pencitraan kota Pekalongan yang mandul

Kali ini saya hanya akan menanyakan satu hal. Apa yang membuat kota Pekalongan ini memiliki ciri khas? Batik? Sudah lewat. Sekarang zamannya bagaimana kota-kota ini bertumbuh dengan penciptaan citra budaya yang memiliki frame yang berbeda. Kota Pekalongan, tidak pernah menggarap itu semua. Mandulkah?

Saya titip semoga itu semua diperhatikan....

Salam,
Robert Dahlan

Komentar