DIALOG KATA DAN AKU PADA SUATU SIANG

[kepada pengurai kata]

Barisan kata itu melepuh, menjadi lumpuh. Kini tinggal menunggu ajal tiba, menjemputnya. Membawanya pulang pada Sang Kehendak. Sampai yang tertinggal hanya kebisuan. Siapa kan sangka, itu akan terjadi. Mungkin dalam hitungan detik, mungkin menit, mungkin jam, atau abad-abad yang tak terjangkau oleh usia. 
"Berhentilah menuliskan kata!" ucap Kata, "Sekarang sudah saatnya menyuarakannya, agar kata tak lepas dari makna," pintanya.
"Bagaimana aku bisa berhenti menulis. Sementara suaraku tak pernah mereka dengar? Mereka terlalu sibuk dengan orasi tentang onani politik. Sungguh naifnya," ucapku.
"Lalu apakah kau tak punya ruang untuk mengucapkan kata-kata? Katakanlah!" bentak Kata.
"Ada. Selalu ada ruang, tetapi suaraku tak mampu menembus dimensi ruang. Dinding-dinding itu terlalu tebal, menyekatku bahkan aku katakan sangat memenjarakanku. Memasung kata-kata menjadi ruang bisu," ucapku.
"Lakukan dengan tindakan!"
"Ini bukan film gambar bisu, kata. Ini bukan pertunjukan pantomim," ucapku, "Kata musti tersuara. Biarpun berisik!"
"Tetapi bagaimana?" kali ini Kata menanyaiku dengan pertanyaan yang sulit aku jawab. Aku memutar otak, mencari akal. Bukan mencari jawaban tetapi mencari apa yang memang semestinya aku lakukan.
"Kau belum menemukan jawaban?" tanya Kata padaku lagi.
"Bukan jawaban. Bukan itu. Yang belum aku temukan adalah bentuk nyata dari jawaban itu. Sebab, tak cukup dengan menjawab melainkan dengan sesuatu yang nyata, Kata," kilahku.
"Itulah, artinya kau harus melakukan sesuatu. Ya, tindakan," ucap Kata. "Sekarang, kau lihat, tampak wujudku ini tak terupa lagi. Hanya menjadi pajangan pada lembar-lembar kertas, menjadi ilustrasi. Sementara gambar-gambar, dan foto-foto mungkin lebih dinyatakan sebagai yang nyata. Wujudku menghilang dalam wujudku sendiri. Lalu, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku tidak tahu, Kata. Aku tidak tahu."
"Tidak tahu? Itukah jawaban?"
"Jangan menyudutkan aku, Kata. Aku benar-benar dihinggapi ketidaktahuanku karena aku begitu ketakutan."
"Apa yang membuatmu takut?"
"Kehilangan makna. Itu yang ku takutkan. Dan bukankah itu pula yang kau takutkan?"
"Sama sekali aku tidak peduli. Itu urusan manusia. Tetapi aku tak merelakan jika manusia kehilangan hakikat mereka, sebagai makhluk kata sekaligus makhluk makna. Yang aku khawatirkan adalah jika kehidupan manusia itu kehilangan hakikat keduanya, akankah mereka menjadi manusia yang benar-benar manusia? Ingat, Tuhanpun memerintah manusia dengan kata," ucapan kata itu rupanya membuatku semakin gelisah.
"Apakah kau juga makhluk?" dengan nada ragu terpaksa aku tanyakan itu pada Kata.
"Ya! Tuhan mengutusku menjadi jembatan bagi manusia. Dan itulah kenapa aku sampaikan, jika aku juga makhluk."
"Kau takut mati?"
"Tidak ada urusannya dengan kematian kata. Yang menjadi bencana sesungguhnya adalah ketika manusia sudah membunuh kata milik mereka sendiri. Mau jadi apa mereka?" gertak Kata, "Bisa kau bayangkan?"
"Tidak! Jangan paksa aku membayangkan itu, wahai Kata. Aku tak sanggup."
"Jika begitu, kapan kau akan menunaikan tugasmu, penyair? Kau bukan penyair salon kan?"
Nada pertanyaan itu seolah mengejek dan menertawaiku. Hampir aku berang, tetapi kemarahan itu aku sarungkan kembali. 
"Ayolah, wahai penyair. Katakanlah, kau bukan penyair salon. Yang hanya bisa menebalkan kata-kata menjadi untaian keindahan semata tanpa makna. Tanpa daya, tanpa ruh pada kata-katamu. Sekarang, giliranmu menyuarakan kata-kata. Bukan hanya menuliskan kata-kata dalam barisan yang seharusnya tidak menjadi serdadu. Katakanlah! Katakanlah padaku, sekarang."
"Aku tidak sanggup!"
"Kapan??"
"Entahlah!"
"Menunggu ajal tiba?"
"Mungkin."
"Kalau begitu sampai bertemu nanti. Aku akan datang lagi padamu, menemani maut yang menjemputmu. Salam...."
Kata itu menghilang tanpa bekas. Melesap dalam asap putih yang tebal, lalu entah kemana ia kembali pulang. Aku tak tahu.

pekalongan, 13082012, gubuk gondrong

Komentar