Sekadar Julukan

https://1.bp.blogspot.com/-bj2ccQNike0/VJSKLOjWScI/AAAAAAAAAxI/4HiaCMFJ-VQ/s1600/dasi.jpg
Saya tidak paham, batas-batas apa atau hal-hal apa yang memberikan pengetahuan pada setiap orang mengenai julukan-julukan yang disandang oleh seseorang. Ada yang dijuluki sebagai birokrat, politikus, akademisi, seniman, dan lain-lain. Tetapi, apa dasarnya? Apakah hanya diukur dari ukuran bajunya? Ataukah dari berapa jumlah kancingnya? Atau terbikin dari apa kancing bajunya? Ataukah kilatan sepatunya? Atau mungkinkah dari panjang dasinya yang menlingkari lehernya? Saya benar-benar tak paham.
Ketidakmampuan saya memahami hal-hal itu sangat tampak pada saat saya secara tiba-tiba dilontari sebuah pertanyaan dari seorang kawan. Dia bilang begini, "Kang, apakah seorang seniman itu harus berpenampilan norak bin katrok bin urakan bin awut-awutan?"
Atas pertanyaan itu saya tidak bisa menjawabnya dan malah bertanya balik pada kawan saya itu, "Lho sebentar, Kang. Sebentar. Kalau boleh saya cerna maksud pertanyaan sampeyan itu, maka saya beroleh pemahaman bahwa apakah dengan pertanyaan itu sampeyan sedang menganggap dan memandang saya ini sebagai seorang seniman?"
"Lho, nyatanya kan begitu, Kang!" tandas kawan saya.
Saya pun tersenyum. Lalu, saya kembali bertanya, "Lho sejak kapan saya pernah memproklamirkan diri di hadapan umum bahwa saya ini seniman, Kang? Rasa-rasanya saya tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang seniman."
"Lalu, sampeyan itu harus saya sebut apa, Kang? Kalau dari pekerjaan sampeyan, jelas sampeyan ini kan pengajar jadi sampeyan itu seorang akademisi. Tetapi, kok rasanya ada yang aneh dengan sampeyan, jika disebut sebagai akademisi, Kang. Maaf loh, bukan maksud saya menghina," kata kawan saya.
Saya pun bisa maklum. Kemudian saya balik tanya lagi, "Apakah maksud sampeyan itu bahwa saya itu salah masuk kamar? Begitu?"
"Lho, bukan begitu maksud saya, Kang," kilah kawan saya.
"Eh, sebentar, sebentar. Saya coba urai lagi maksud pertanyaan dan pernyataan sampeyan itu tadi. Sampeyan menanyakan saya tentang penampilan seorang seniman, padahal saya tidak pernah merasa diri sebagai seniman. Kemudian sampeyan menyatakan bahwa saya ini bisa disebut sebagai akademisi karena pekerjaan saya, tetapi kok dirasa kurang pantas karena penampilan saya yang awut-awutan. Nah, ini yang membuat kadang saya juga jadi bingung, sebenarnya apakah ukuran seorang akademisi itu harus dilihat dari penampilannya, Kang? Dan apakah akademisi seperti sampeyan itu dituntut harus wabil wajib berpenampilan rapi seperti sampeyan, Kang?" tanya saya.
Kawan saya agak bergidik dan menjawab, "Lho itu kan sudah tuntutan profesi, Kang. Jadi, secara otomatis mestinya begitu."
Mendengar jawaban itu, saya kemudian langsung berkata, "Nah, itulah bedanya antara saya dan sampeyan, Kang. Saya tidak pernah merasa dan menganggap diri sebagai seniman dan juga seorang akademisi, sementara sampeyan sudah memiliki keyakinan yang kuat bahwa sampeyan itu seorang akademisi. Boleh dibilang, saya ini mungkin orang yang tidak sesiap sampeyan, Kang."
Agaknya pernyataan saya barusan itu membuat sedikit berang kawan saya itu. Dengan lantang ia pun medebat saya, "Lho, sampeyan itu bagaimana sih? Masa nggak punya prinsip?! Sekarang ini sampeyan harus sadar diri. Sampeyan itu mau berdiri di sebelah mana, seniman atau akademisi? Yang jelas dong!"
Ah, saya sama sekali tidak menduga akan seperti itu jadinya. Lalu, saya pun dengan nada bercanda bilang, "Ya, kalau saya sih sebenarnya nggak mau repot soal itu, Kang. Saya maunya sih menjadi diri saya dengan segala apa yang ada pada diri saya saja. Bukan seniman, bukan akademisi, bukan apa-apa. Bukan pula seseorang yang sibuk dengan urusan julukan-julukan. Toh, yang namanya akademisi, politikus, seniman itu semua cuma julukan to? Jadi, apa pentingnya? Itu kalau saya loh ya. Kalau sampeyan, saya nggak paham."
Tak aku sangka dan ku duga, tiba-tiba ucapanku barusan itu membuat wajah kawan saya itu memerah padam. Ya, maksud hati tidak ingin menyinggung. Tetapi, apa boleh buat, ternyata julukan juga menjadi masalah gawat. Ya sudah, saya ikhlaskan saja ucapan saya itu. Sudah kadung keluar dari mulut, mana mungkin bisa ditarik kembali.


Pekalongan, 20 Desember 2014
Riboet Gondrong


Komentar