
Saya tidak
paham, batas-batas apa atau hal-hal apa yang memberikan pengetahuan
pada setiap orang mengenai julukan-julukan yang disandang oleh seseorang. Ada
yang dijuluki sebagai birokrat, politikus, akademisi, seniman, dan lain-lain.
Tetapi, apa dasarnya? Apakah hanya diukur dari ukuran bajunya? Ataukah dari
berapa jumlah kancingnya? Atau terbikin dari apa kancing bajunya? Ataukah
kilatan sepatunya? Atau mungkinkah dari panjang dasinya yang menlingkari
lehernya? Saya benar-benar tak paham.
Ketidakmampuan
saya memahami hal-hal itu sangat tampak pada saat saya secara tiba-tiba
dilontari sebuah pertanyaan dari seorang kawan. Dia bilang begini, "Kang,
apakah seorang seniman itu harus berpenampilan norak bin katrok bin urakan bin
awut-awutan?"
Atas
pertanyaan itu saya tidak bisa menjawabnya dan malah bertanya balik pada kawan
saya itu, "Lho sebentar, Kang. Sebentar. Kalau boleh saya cerna maksud
pertanyaan sampeyan itu, maka saya beroleh pemahaman bahwa apakah dengan
pertanyaan itu sampeyan sedang menganggap dan memandang saya ini sebagai
seorang seniman?"
"Lho,
nyatanya kan begitu, Kang!" tandas kawan saya.
Saya pun
tersenyum. Lalu, saya kembali bertanya, "Lho sejak kapan saya pernah
memproklamirkan diri di hadapan umum bahwa saya ini seniman, Kang? Rasa-rasanya
saya tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang seniman."
"Lalu,
sampeyan itu harus saya sebut apa, Kang? Kalau dari pekerjaan sampeyan, jelas
sampeyan ini kan pengajar jadi sampeyan itu seorang akademisi. Tetapi, kok
rasanya ada yang aneh dengan sampeyan, jika disebut sebagai akademisi, Kang.
Maaf loh, bukan maksud saya menghina," kata kawan saya.
Saya pun
bisa maklum. Kemudian saya balik tanya lagi, "Apakah maksud sampeyan itu
bahwa saya itu salah masuk kamar? Begitu?"
"Lho,
bukan begitu maksud saya, Kang," kilah kawan saya.
"Eh,
sebentar, sebentar. Saya coba urai lagi maksud pertanyaan dan pernyataan
sampeyan itu tadi. Sampeyan menanyakan saya tentang penampilan seorang seniman,
padahal saya tidak pernah merasa diri sebagai seniman. Kemudian sampeyan menyatakan
bahwa saya ini bisa disebut sebagai akademisi karena pekerjaan saya, tetapi kok
dirasa kurang pantas karena penampilan saya yang awut-awutan. Nah, ini yang
membuat kadang saya juga jadi bingung, sebenarnya apakah ukuran seorang
akademisi itu harus dilihat dari penampilannya, Kang? Dan apakah akademisi
seperti sampeyan itu dituntut harus wabil wajib berpenampilan rapi seperti
sampeyan, Kang?" tanya saya.
Kawan saya
agak bergidik dan menjawab, "Lho itu kan sudah tuntutan profesi, Kang.
Jadi, secara otomatis mestinya begitu."
Mendengar
jawaban itu, saya kemudian langsung berkata, "Nah, itulah bedanya antara
saya dan sampeyan, Kang. Saya tidak pernah merasa dan menganggap diri sebagai
seniman dan juga seorang akademisi, sementara sampeyan sudah memiliki keyakinan
yang kuat bahwa sampeyan itu seorang akademisi. Boleh dibilang, saya ini
mungkin orang yang tidak sesiap sampeyan, Kang."
Agaknya
pernyataan saya barusan itu membuat sedikit berang kawan saya itu. Dengan
lantang ia pun medebat saya, "Lho, sampeyan itu bagaimana sih? Masa nggak
punya prinsip?! Sekarang ini sampeyan harus sadar diri. Sampeyan itu mau
berdiri di sebelah mana, seniman atau akademisi? Yang jelas dong!"
Ah, saya
sama sekali tidak menduga akan seperti itu jadinya. Lalu, saya pun dengan nada
bercanda bilang, "Ya, kalau saya sih sebenarnya nggak mau repot soal itu,
Kang. Saya maunya sih menjadi diri saya dengan segala apa yang ada pada diri
saya saja. Bukan seniman, bukan akademisi, bukan apa-apa. Bukan pula seseorang
yang sibuk dengan urusan julukan-julukan. Toh, yang namanya akademisi,
politikus, seniman itu semua cuma julukan to? Jadi, apa pentingnya? Itu kalau
saya loh ya. Kalau sampeyan, saya nggak paham."
Tak aku
sangka dan ku duga, tiba-tiba ucapanku barusan itu membuat wajah kawan saya itu
memerah padam. Ya, maksud hati tidak ingin menyinggung. Tetapi, apa boleh buat,
ternyata julukan juga menjadi masalah gawat. Ya sudah, saya ikhlaskan saja
ucapan saya itu. Sudah kadung keluar dari mulut, mana mungkin bisa ditarik
kembali.
Pekalongan, 20
Desember 2014
Riboet Gondrong
Komentar