DILARANG MENGARANG DI DALAM KELAS

(Sekadar celoteh kecil dari dalam sangkar)

Mungkin, mengarang sudah bukan lagi pelajaran yang dipandang penting. Maka kemudian, pelajaran mengarang ditinggalkan. Semua serba diukur melalui pilihan-pilihan. Tinggal membubuhkan tanda silang, lalu menentukan salah benar. Dihitung salahnya. Sementara nilai didasarkan sisa jawaban yang benar. Oh, betapa cara ini praktisnya. Nyaris tidak ada usaha yang sama-sama dilakukan oleh guru dan murid untuk saling belajar satu sama lain. Guru tak cukup punya waktu memelajari murid. Begitu pula murid, tak punya kesempatan belajar dari gurunya. Semua berjalan serba singkat.
Tersebab itu pula, tidak heran ketika para murid ini menyandang predikat sebagai mahasiswa, mereka tiba-tiba gagap di dalam menulis. Ini tampak ketika mereka tengah menyusun skripsi. Mereka bahkan tak memiliki cukup kemampuan untuk menceritakan setuntas-tuntasnya mengenai pengalaman meneliti mereka. Mereka lebih sibuk mengurusi kata-kata, kalimat, atau paragraf yang mereka tulis. Bukan tentang apa yang sedang atau telah mereka lakukan.
Bagaimana dengan dosen mereka? Entahlah. Saya tak punya jawaban. Yang jelas, bisa jadi sekarang ini tengah terjadi sebuah aturan main baru, yaitu “dilarang mengarang di dalam kelas”.
Mengapa aturan itu seolah-olah ada? Mungkin karena sekarang ini orientasi para pengelola sekolah hanya meluluskan murid. Apalagi ketika harus berhadapan dengan Ujian Nasional yang selama ini menjadi momok. Ini juga didukung oleh aturan para kepala daerah yang dengan semangat menggebu membuat slogan “LULUS 100%!” yang diartikan semua murid harus lulus. Bukan 100% kualitasnya, melainkan kuantitasnya.
Oh, betapa gagapnya kita saat ini di dalam menyikapi perkembangan zaman. Yang penting tampak mewah. Soal lain-lain, tetaplah menjadi persoalan lain yang cenderung disisihkan. Lalu, tiba-tiba “terkejut” melihat kemewahan yang kosong dan melompong, hingga segala upaya “diada-adakan”. Pelatihan ini, pelatihan itu. Workshop ini, workshop itu. Tetapi, tak jelas juga jluntrungannya. Semua kembali pada “kekeliruan yang dibiasakan” setelah semua dilakukan. Ya, kita kembali menjadi penikmat kemewahan yang melompong. Menyembunyikan dan menyamankan diri di dalam ruangan yang disemprot freon. Memaksa agar metabolisme tubuh tak mampu mendesak dan memaksa keringat untuk keluar lewat pori-pori. Kita bahkan memaksakan agar segala imaji dan fantasi tak boleh meruang dalam pikiran. Sampai-sampai tak cukup waktu untuk melakukan terobosan-terobosan. Yang kita lakukan hanya menyiasati apa-apa yang dianggap masalah yang menyusahkan. Ya, kita kembali tak ingin disusahkan oleh masalah. Padahal, hidup adalah himpunan masalah yang berkelindan. Bertumpang tindih.
Oh, betapa dan betapa. Kita sudah terjerembab di dalam “Sumur Tanpa Dasar” sebagaimana yang ditulis Arifin C. Noer. Maka, sulit bagi kita untuk mentas dari sumur itu. Tetapi, bukan berarti kita tak bisa naik ke permukaan kembali. Satu-satunya jalan untuk bisa naik ke permukaan, kita perlu membaca dinding-dinding sumur yang ada di sekeliling. Menggapainya dan memanjatnya.
Tentu, keringat akan mengucur deras di sekujur tubuh. Bahkan, sangat mungkin bedak, gincu, atau hal-hal lain yang menopengi wajah kita akan luntur atau harus dilepas. Bisa jadi pula, pakaian necis tak lagi dibutuhkan. Jas, dasi, dan sepatu pantovel tak lagi diperlukan, karena hanya menghalangi gerak tubuh. Kita mesti berakrab dan berkarib dengan lumpur yang membalur sekujur tubuh. Di sinilah kemudian dibutuhkan kesanggupan, karena kemampuan bukanlah tolok ukur. Kemampuan hanya efek dari kesanggupan. Tetapi, kesanggupan ini juga harus dibarengi dengan kemauan untuk “meniada” atau dianggap tiada.


Pekalongan, 2 Maret 2016

Komentar